Jumat, 28 Desember 2012

mikoriza untuk lahan kritis


APLIKASI MIKORIZA DALAM UPAYA REHABILITASILAHAN KRITIS DI INDONESIA 


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Luas lahan kritis di Indonesia diperkirakan telah mencapai 25 hektar per menit. Lahan kritis dan tanah kosong di luar kawasan hutan yang umumnya tidak produktif seperti padang ilalang, tanah-tanah terlantar, sebagian besar hanya dimanfatkan ntuk usaha tani lahann kering yang dalam pengelolaanya masih belum memperhatikan aspek konservasi (  Departemen Kehutanan dan perkebunaan , 2000 ) dalam Utomo (2008).
Akhir-akhir ini berbagai aktivitas manusia yang banyak melibatkan beberapa kehiatan seperti pembukaan hutan , penebangan kayu , penambangan , pembukaan lahan pertanian dan perkotaan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan berupa rusaknya vegetasi hutan sebagai habitat satwa dan kemungkinan hilangnya jenis- jenis flora atau fauna endemik langka sebagai sumbee plasma nutfah potensial , rusaknya sistem tata air (waterhed) , meningkatnya laju erosi permukaan , menurunkan produktivitas dan stabilitas lahan serta biodiversitas flora dan fauna (Fitriatin , B.N , 2002).
Di lapangan, proses revegetasi ini tidaklah mudah untuk dilakukan. Area yang akan direvegetasi kondisi tanahnya (fisik, kimia dan biologi) telah rusak (marginal) dan tidak mampu mendukung pertumbuhan tanaman dengan baik (Setiyadi dan Arif , 2011).
Fungi ini dapat membantu proses revegetasi dengan meningkatkan daya larut mineral, meningkatkan pengambilan nutrisi, mengikat partikel tanah menjadi agregat yang stabil dan meningkatkan toleransi terhadap kekeringan dan keracunan logam (Linderman & Pfleger, 1994; Jasper 1994 dalam Setiadi 1995) (Setiyadi dan Arif , 2011).
FMA merupakan komponen esensial yang dibutuhkan untuk membantu meningkatkan daya hidup dan pertumbuhan tanaman, khususnya pada lokasi pasca tambang (Kiernan et al., 1983; Garedner & Malajczuk, 1988; Jasper et al., 1988 dalam Setiadi, 1995) (Setiyadi dan Arif , 2011) .
Fungi mikoriza arbuskula (FMA) dapat digunakan untuk membantu program merehabilitasi lahan-lahan kritis. Kemampuanya dalam memperbaiki status nutrisi tanaman tersebut pada saat ini dapat dijadikan sebagai alternatif strategis untuk mensubtitusikan sebagian kebutuhan pupuk yang diperlukan oleh tanaman yang ditanam pada tanah-tanah bermasalah (Setiadi,1992) dalam (Utomo,2008).

B.     Tujuan
Tujuan penulisan Makalah ini adalah untuk membahas mengenai peran mikoriza sebagai agens bioremediasi pada lahan kritis sehingga bisa memberikan pengetahuan pembaca terkait hal tersebut.


BAB II
ISI
A.    Mikoriza
Mikoriza adalah bentuk simbiosis yang menguntungkan antara akar tumbuhan dan fungi tanah. Fungi mikoriza (mikobion) untuk tumbuh danberkembang memerlukan karbohidrat dari tumbuhan dan tumbuhan (fitobion) memerlukan unsur hara dan air dalam tanah melalui hifa fungi selama siklus hidupnya. Struktur yang terbentuk dari asosiasi ini tersusun secara beraturan dan memperlihatkan spektrum yang sangat luas, baik dalam hal tanaman inang, spesies fungi maupun penyebarannya. Mikoriza tersebar dari artiktundra sampai ke daerah tropis dan dari daerah bergurun pasir sampai ke hutan hujan yang melibatkan sekitar 80 - 90% spesies tumbuhan yang ada (Novera , 2008).
Fungi pada umumnya memiliki ketahanan cukup baik pada rentang faktor lingkungan fisik yang lebar. Mikoriza tidak hanya berkembang pada tanah berdrainase baik, tapi juga pada lahan tergenang seperti pada padi sawah. Bahkan pada lingkungan yang tecemar limbah berbahaya fungi mikoriza masih memperlihatkan eksistensinya  (Novera , 2008).
Kolonisasi fungi mikoriza arbuskula ditandai oleh adanya struktur arbuskula, vesikula, hifa koil, hifa interseluler dan intraseluler yang tidak memiliki septat ( Harley & Smith 1983) dalam Novera (2008). Gallaud (1995) dalam Smith dan Read (1997) membagi struktur internal fungi mikoriza arbuskula menjadi dua kelompok yaitu tipe arum dan tipe paris. Perbedaan tipe arum dan tipe paris ditentukan oleh dominansi hifa interseluler dan arbuskula yang terbentuk. Pada tipe arum, arbuskula terbentuk secara terminal di dalam sel-sel korteks dari hifa yang tumbuh secara longitudinal di antara sel-sel korteks, pada tipe paris arbuskula terbentuk secara interkalar pada hifa koil di dalam sel-sel kortek akar (Brundrett et al. 1995) dalam Novera (2008).Menurut Menoyo et al. (2007) dalam Novera (2008) tipe arum ditandai oleh hifa intersel, vesikula intersel atau intrasel dan arbuskula terminal pada cabang hifa intrasel. Tipe paris ditandai oleh hifa intrasel, vesikula intrasel, hifa koil intrasel dan arbuskul intrasel yang terbentuk dari hifa koil intrasel. Dickson (2004) menyatakan kolonisasi tipe arum terdiri dari hifa interseluler dan arbuskula, tipe paris terdiri dari hifa intraseluler, hifa koil dan arbuskula yang terbentuk dari koil. Menurut Cavagnaro et al.( 2001) dalam Novera (2008).pada tipe arum fungi membentuk hifa interseluler diantara sel-sel korteks dan arbuskula intraseluler di dalamnya, sedangkan pada tipe paris fungi membentuk hifa koil dan arbuskula koil dalam jaringan korteks, dan tidak terbentuk hifa interseluler pada fase kolonisasi.
Menurut Willay et al (2008) bahawa Fungi mikoriza arbuskular merupakan  jenis mikoriza yang paling umum yang dapat ditemukan ketika berasosiasi dengan tanaman tropis. mikroba ini akan memasuki sel akar tepatnya pada dinding selnya serta menginvaginasi pada membran plasma tapi tidak merusak membran sel. FAM juga dipercaya bisa memberikan perlindungan tanaman dari berbagai penyakit dan hama. Selain itu, FMA juga bisa meningkatkan daya saing tanaman serta adaptasi terhadap lingkungan.
FMA diketahui mampu memperbaiki pertumbuhan dan hasil tanaman pada tanah-tanah dengan kondisi yang kurang menguntungkan. FMA yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan memproduksi jaringan hifa eksternal yang tumbuh secara ekspansif dan menembus lapisan sub soil sehingga meningkatkan kapasitas akar dalam penyerapan hara dan air ( Cruz et al,2004) dalam (Hartoyo dkk,2011). Selain itu menurut Karthikeyan(2008) FMA bisa menambah kemampuan akar tanaman dalam mengabsorbsi beberapa nutrien tanah seperti P,Zn, Cu dan lainya. FMA  juga  mampu meningkatkan kemampuan pertahanan tanaman dari patogen akar. FMA merupakan salah satu agen pengendali hayati yang digunakan untuk mengendalikan patogen tular tanah dan mampu meningkatkan penebalan lignin dinding sel tanaman sehingga terjadi penambahan rigiditas mekanik dan kekuatan dinding sel ,serta FMA mampu merangsang tanaman inang untuk meningkatkan konsentrasi fitoaleksin (Huzhe et al,2005) dalam (Rosiana,2009).
Mikoriza berperan dalam meningkatkan ketahanan hidup tanaman terhadap penyakit, kekeringan atau kondisi ekstrim lainnya dan meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan bertambahnya kemampuan akar dalam menyerap unsur hara yang dibutuhkan. Akar tanaman yang pendek dan serabut atau akar tanaman yang tidak dapat tumbuh dengan baik akibat sifat fisik dan kimia tanah yang rusak dapat terbantu perannya dalam menyerap air dan unsur hara. Hifa mikoriza yang telah menginfeksi akar tanaman dapat menjulur sampai 10 meter sehingga mampu menyerap unsur hara dan air pada daerah yang tidak dapat terjangkau oleh akar. Pada tanaman bermikoriza, respon tanaman yang mengalami cekaman kekeringan cenderung lebih dapat bertahan dari kerusakan korteks dibandingkan tanaman tanpa mikoriza. Gangguan perakaran ini tidak akan berpengaruh permanen pada akar-akar bermikoriza. Peranan langsung mikoriza adalah membantu akar dalam meningkatkan penyerapan air karena hifa cendawan masih mampu menyerap air dari pori-pori tanah pada saat akar tanaman sudah mengalami kesulitan mengabsorbsi air, hal ini dikarenakan hifa utama cendawan mikoriza di luar akar membentuk percabangan hifa yang lebih kecil dan halus dari rambut akar dengan diameter kira-kira 2μ m (Sasli, I, 2004).
Jadi mikoriza adalah suatu bentuk hubungan simbiosis mutualisma antara cendawan dan perakaran tumbuhan tingkat tinggi. Simbiosis ini terjadi saling menguntungkan, cendawan memperoleh karbohidrat dan unsur pertumbuhan lain dari tanaman inang, sebaliknya cendawan memberi keuntungan kepada tanaman inang, dengan cara membantu tanaman dalam menyerap unsur hara terutama unsur P. Berdasarkan struktur tumbuh dan cara infeksi maka mikoriza dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar yakni Ektomikoriza dan Endomikoriza (CMA) ( Husna , dkk ,2007 ).
Mikoriza arbuskula terbentuk hampir pada semua spesies tumbuhan seperti: Bryophyta, Pteridophyta, Gymnospermae dan Angiospermae. Hanya beberapa tumbuhan yang tidak berasosiasi dengan fungi mikoriza arbuskula, terutama tumbuhan yang membentuk ektomikoriza (misalnya Pinaceae, Betulaceae) atau yang membentuk tipe endomikoriza lainnya (Harley & Smith 1983) dalam Novera (2008).

B.     Jenis Mikoriza
Menurut Novera (2008) berdasarkan struktur tubuh dan cara infeksi terhadap tanaman inang, mikoriza dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar (tipe) yaitu ektomikoriza dan endomikoriza. Pola asosiasi antara fungi mikoriza dengan akar tanaman inang menyebabkan terjadinya perbedaan morfologi akar  antara ektomikoriza dan endomikoriza.
Pada ektomikoriza jaringan hifa fungi tidak sampai masuk ke dalam sel tapi berkembang diantara sel kortek akar membentuk hartig net dan mantel di permukaan akar. Simbiosis ini biasanya terjadi pada akar spesies-spesies pohon yang dapat dibedakan sistem perakarannya, yaitu tumbuhan yang memiliki akar panjang dan akar pendek. Akar yang dikolonisasi oleh fungi ektomikoriza sebagian mengalami perubahan dalam morfologi dan anatominya. Pada umumnya kolonisasi fungi pada ektomikoriza menyebabkan akar menjadi gemuk dan pendek. Ektomikoriza biasanya ditemukan pada akar melinjo (Gnetum gnemon) Pinus sp., Dipterocarpaceae dan Eucalyptus sp. Fungi ektomikoriza terdiri atas basidiomiset, askomiset dan satu anggota zigomiset yaitu Endogone (Brundrett et al. 1994). Pada endomikoriza kolonisasi fungi terjadi secara interseluler dan intraseluler. Pada mikoriza vesikula arbuskula, setelah penetrasi hifa ke dalam jaringan korteks akar akan membentuk struktur arbuskula yang merupakan percabangan dikotom yang intensif dari hifa intraseluler yang berperan dalam transfer nutrisi antara fungi dan tumbuhan inang. Kadang-kadang juga membentuk struktur yang khas berbentuk oval yang disebut vesikula. Vesikula merupakan organ fungi yang berfungsi sebagai penyimpan makanan cadangan.
Endomikoriza dibedakan menjadi enam kelompok, yaitu: ektendomikoriza, mikoriza arbuskula (MA), mikoriza arbutoid, mikoriza monotropoid, mikoriza ericoid, mikoriza anggrek (orchid) (Smith & Read 1997) dalam Novera (2008). Dari ke tujuh tipe mikoriza, MA merupakan mikoriza yang paling umum dijumpai. Sembilan puluh lima persen tumbuhan di dunia membentuk simbiosis mikoriza. Sebagian besar tumbuhan bermikoriza ialah mikoriza arbuskula (Novera ,2008).



C.     Bioremediasi
Bioremediasi merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi lingkungan dengan memanfaatkan proses biologi dalam mengendalikan pencemaran (Munir,2006). Menurut (Alexander, 1977 dan Widyati, 2008) dalam Hayati (2011) bioremediasi merupakan suatu proses pemulihan polutan dengan memanfaatkan jasa makhluk hidup seperti mikroba (bakteri, fungi, khamir), tumbuhan hijau atau enzim yang dihasilkan dalam proses metabolisme mereka.
Keberhasilan proses bioremediasi menurut Munir (2006) harus didukung oleh beberapa disiplin ilmu seperti fisiologi mikroba, ekologi, kimia organik, biokimia  gegetika molekuler, kimia air, kimia tanah dan juga teknik.
Menurut Fitriatin, dkk (2008) peningkatan produktivitas lahan kritis antara lain dilakukan karena pemebrian pupuk phosphat baik berupa pupuk buatan maupun pupuk alam. Namun pupuk phosphat memiliki kelarutan rendah sehingga tidak dapat langsung dimanfaatkan oleh tanaman. Peningkatan efesiensi pemupukan dapat dilakukan dengan aplikasi mikroba tanah seperti mikrob pelarut fosfat dan fungi mikoriza arbuscula.

Mikrob pelrut fosfat merupakan kelompok mikrob tanah sering dimanfaatkan untuk rehabilitasi lahan kritis ( setiadi, 2001) . MPf mampu mehekstraksi fosfat dari ikatanya denan Al. Fe, Ca, dan Mg karena mikrob ini mampu mengeluarkan asam organik yang dapat membentuk kompleks stabil dengan kation-kation pengikat fosfat di dalam tanah( Withelew,2000) dalam (Fitriatain,dkk,2008)

D.    Lahan kritis
Lahan kritis memiliki kondisi lingkungan yang sangat beragam tergantung pada peneybab kerusakan lahan. Secara umum  dapat dikatakan bahwa kondisi lahan kritis menyebabkan tanaman tidak cukup mendapatkan air dan unsur hara , kondisi fisik tanah yang tidak memungkinkan agar berkembang dan proses infiltrasi air hujan , kandungan garam yang tinggi akibat akumulasi garam sekunder atau intrusi air laut yang menyebabkan plasmolisis atau tanaman keracunan oleh unsur toksik yang tinggi ( subiaksa ,2006) dalam Utomo (2008).
Selain itu, kondisi tanah yang kompak karena pemadatan dapat menyebabkan buruknya system tata air ( air infiltrasi dan perlokasi ) dan aerasi yang secara langsung dapat membawa dampak negatif terhadap fungsi dan perkembangan akar. Rusaknya strukutr juga menyebabkan tanah tidak mampu untuk menyimpan dan meresapkan air pada musim hujan , sehingga aliran permukaan menjadi tinggi dan berdampak pada laju erosi ( Fitriatain, T.T).
Dalam profil tanah yang normal , lapisan tanah atas merupakan sumber unsur-unsur hara makro dan mikro yang esensial bagi pertumbuhan tanaman, dan juga sebagai sumber bahan organik untuk menyokong kehidupan dan aktivitas mikroba tanah yang potensial. Tipis dan kurangnya lapisan top soil dan bahan organik diangap sebagai penyebab utama buruknya tingkat kesuburan tanah pada lahan-lahan kritis. Kadar unsur esensial seperti N dan P , dan reaksi tanah masam (pH rendah) atau alkaline (pH tinggi), seta rendahnya nilai KTK (kapasitas tukar kation) merupakan problema umum yang dijumpai pada lahan-lahan kritis (Fitriatain, T.T).
Namun, pengembangan pertanian di lahan kering seringkali menghadapi berbagai kendala antara lain miskin unsur hara esensial seperti N, P, K, Ca dan nilai tukar kation (KTK) rendah sehingga unsur hara mudah lepas dan tercuci dimana bersamaan dengan itu terjadi peningkatan hara toksik seperti Al, Fe dan Mn (Suterisno, 2010) dalam (Hapsari,2011).
Menurut Hapsari (2011) apabila lahan kritis tidak diupyakan untuk rehabilitasi dan konservasi maka tanah tersebut tidak dapat lagi berfungsi sebagai unsur produksi media pengatur tata air ,dan perlindungan lingungan. Untuk mencegah lahan kritis dan untuk meningkatkan produktivitasnya untuk keperluan pertanian , perkebunan, kehutanan, dan pelestarian alam, perlu dilakukan upaya –upaya yang dapat memodifikasi lingkungan tumbuh tanaman.

E.     Peran Penting Mikoriza
Beberapa peran penting FMA menurut Novera ( 2008) adalah sebagai berikut:

1.      Perbaikan nutrisi tanaman dan peningkatan pertumbuhan.
Fungi ini memiliki kemampuan untuk berasosiasi dengan hampir 90% spesies tanaman dan telah terbukti mampu memperbaiki nutrisi dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. FMA yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman mampu meningkatkan kapasitas penyerapan unsur hara dan air. Posfat merupakan unsur hara utama yang dapat diserap oleh tanaman bermikoriza, serta unsur-unsur mikro sepeti Cu, Zn dan Bo (Sieverding 1991) dalam (Novera , 2008). Posfat adalah salah satu unsur hara esensial yang diperlukan dalam jumlah relatif banyak oleh tanaman, tetapi ketersediaannya terutama pada tanah-tanah masam menjadi terbatas, sehingga sering kali menjadi salah satu pembatas utama dalam peningkatan produktivitas tanaman. Kemampuan FMA dalam memperbaiki status nutrisi tanaman dapat dijadikan sebagai alat biologis untuk efisiensi penggunaan pupuk buatan, terutama posfat.
2.      Sebagai pelindung hayati (bio-protection).
Selain perbaikan nutrisi (terutama posfat), FMA juga mampu meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan patogen tular tanah. FMA juga dapat membantu pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah yang tercemar logam berat, seperti pada lahan-lahan pasca tambang. Dengan demikian selain berfungsi sebagai bio-protection, FMA juga berfungsi penting sebagai bioremediator bagi tanah yang tercemar logam berat. Selain itu fungi ini juga mampu meningkatkanv  resistensi tanaman terhadap kekeringan (Hetrick 1984) dalam (Novera , 2008).
3. Terlibat dalam siklus biogeokimia
FMA di alam dapat mempercepat terjadinya suksesi secara alami pada habitat yang mendapat gangguan ekstrim (Allen & Allen 1992) dalam (Novera , 2008). Keberadaan FMA juga mutlak diperlukan karena berperan penting dalam mengefektifkan daur ulang unsur hara (nutrient cycle) sehingga dianggap sebagai alat yang paling efektif untuk mempertahankan stabilitas ekosistem hutan dan keanekaragaman hayati.
4. Sinergis dengan mikroorganisme lain.
FMA pada tanaman leguminosa diperlukan karena pembentukan bintil akar dan efektivitas penambatan nitrogen oleh bakteri Rhizobium/Bradyrhyzobium yang terdapat di dalamnya dapat ditingkatkan. FMA juga dapat bersinergis dengan mikroba potensial lainnya seperti bakteri penghambat N bebas dan bakteri pelarut posfat, serta sinergis dengan mikroba selulotik seperti Trichoderma sp. (Bethlenfavay 1992) (Novera , 2008). Berdasarkan kemampuan tersebut, maka FMA dapat berfungsi meningkatkan biodiversitas mikroba potensial di sekitar perakaran tanaman atau rizosfir.
5. Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan.
FMA berperan penting dalam mempertahankan keanekaragaman tumbuhan dengan cara transfer nutrisi dari satu akar ke akar tanaman lain yang berdekatan melalui struktur yang disebut hyphal bridge (Allen & Allen 1992) (Novera , 2008). Transfer nutrisis ini berlangsung dari induk ke anakan. Dengan demikian aplikasi FMA tidak hanya terbatas pada pola tanaman monokultur, tetapi dapat diintegrasikan dalam unit manajemen pola tanaman campuran (Setiadi 2003) (Novera , 2008).

F.      Peran Mikoriza Pada Lahan Kritis
Di lapangan, proses revegetasi ini tidaklah mudah untuk dilakukan. Area yang akan direvegetasi kondisi tanahnya (fisik, kimia dan biologi) telah rusak (marginal) dan tidak mampu mendukung pertumbuhan tanaman dengan baik. Bibit pohon yang ditanam banyak yang mati, dan untuk pohon yang bertahan hidup pertumbuhannya tidak maksimal (Setiadi, 1995). Hal tersebut disebabkan karena tanah yang masam, defisiensi P, keracunan logam Al dan Fe, rendahnya aktivitas mikroba dan juga mengalami stress air. Dengan demikian perlu dilakukan usaha-usaha dengan menggunakan input teknologi agar dapat menunjang proses revegetasi tersebut. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan mengaplikasikan peran fungi mikoriza arbuskula (FMA) sebagai inokulum (Setiadi dan Arif , 2011)
Fungi ini dapat membantu proses revegetasi dengan meningkatkan daya larut mineral, meningkatkan pengambilan nutrisi, mengikat partikel tanah menjadi agregat yang stabil dan meningkatkan toleransi terhadap kekeringan dan keracunan logam (Linderman & Pfleger, 1994; Jasper 1994 dalam Setiadi 1995). (2). Selain itu FMA merupakan pupuk yang hanya cukup sekali digunakan (once application), karena FMA merupakan makhluk hidup yang dapat terus tumbuh dan berkembang (Setiadi dan Arif , 2011).
Berikut adalah beberapa peran mikoriza antara lain sebagai berikut:
1.      Peran mikoriza pada lahan Utilisol
Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran permukaan dan erosi tanah. Erosi merupakan salah satu kendala fisik pada tanah Ultisol dan sangat merugikan karena dapat mengurangi kesuburan tanah. Hal ini karena kesuburan tanah Ultisol sering kali hanya ditentukan oleh kandungan bahan organik pada lapisan atas. Bila lapisan ini tererosi maka tanah menjadi miskin bahan organik dan hara. Tanah Ultisol mempunyai tingkat perkembangan yang cukup lanjut, dicirikan oleh penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring dengan kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah. Pada umumnya tanah ini mempunyai potensi keracunan Al dan miskin kandungan bahan organik. Tanah ini juga miskin kandungan hara terutama P dan kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar kation rendah, dan peka terhadap erosi (Sri Adiningsih dan Mulyadi 1993)  dalam (Prasetyo dan Suriyadikarta , 2006)
Nilai kejenuhan Al yang tinggi terdapat pada tanah Ultisol dari bahan sedimen dan granit (> 60%), dan nilai yang rendah pada tanah Ultisol dari bahan volkan andesitik dan gamping (0%). Ultisol dari bahan tufa mempunyai kejenuhan Al yang rendah pada lapisan atas (5−8%), tetapi tinggi pada lapisan bawah (37−78%). Tampaknya kejenuhan Al pada tanah Ultisol berhubungan erat dengan pH tanah(Prasetyo dan Suriyadikarta , 2006).
Kandungan hara pada tanah Ultisol umumnya rendah karena pencucian basa berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan organik rendah karena proses dekomposisi berjalan cepat dan sebagian terbawa erosi. pemupukan secara kimiawi seringkali tidak efisien karena P langsung difiksasi oleh aluminium (Adiningsih et al., 1989) dalam (Prasetyo dan Suriyadikarta , 2006). Selain itu, pupuk kimia merupakan masukan yang membutuhkan energi dan biaya tinggi (Setiawati et al., 1996) dan penggunaan yang berlebihan dapat menyebabkan pencemaran lingkungan (Prihartini et al., 1996) dalam (Prasetyo dan Suriyadikarta , 2006)

Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan di atas adalah pemanfaatan Cendawan Mikoriza Vesikula Arbuskula (CMVA). Gunawan (1993), menyatakan bahwa cendawan ini mampu melarutkan P yang sukar larut dengan menghasikan enzim fosfatase dan senyawa pengkhelat Al. CMVA juga dapat meningkatkan serapan P dengan adanya hifa eksternal yang memiliki jangkauan luas (Mosse, 1981), mampu mempercepat tersedianya P dar KSP sehingga akan dapat meningkatkan serapan P tanaman (Mahbub,1999)
Serapan P tanaman (Mosse, 1981; Baon, 1983). Hal ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah tapak serapan yang disebabkan oleh luas permukaan serapan yang lebih besar karena adanya hifa eksternal (Gunawan, 1993) dalam (Mahbub,1999). Hifa ini berfungsi sebagai perluasan dari permukaan akar di samping daerah yang dijelajahi oleh rambut akar (Prihartini et al., 1996) dalam (Mahbub,1999). Dibanding akar tak bermikoriza, akar bermikoriza lebih mampu menyerap P pada tanah dengan kadar P rendah (Paul dan Clark, 1996). Mikoriza diduga juga mampu menyerap P dari sumber-sumber mineral P yang sukar larut karena menghasilkan asam-asam organik dan enzim fosfatase (Gunawan, 1993) dalam (Mahbub,1999). Senyawa ini mampu melepaskan ikatan-ikatan P sukar larut, seperti Al-P dan Fe-P sehingga ketersediaan P meningkat (Bolan, 1991 dalam Suharjo, 1996). Aktivitas enzim fosfatase tanaman bermikoriza delapan kali lebih tinggi disbanding yang tidak bermikoriza (William and Alexander, 1975 Reid, 1984) dalam (Mahbub,1999).
Aplikasi teknologi mikoriza pada tanah ultisol akan mampu meningktkan kesehatan dan kesuburan tanah sehingga bisa dihasilkan produk pertanian yang maksimal.
2.      Perananan Mikoriza dalam Upaya Revegetasi Lahan Kritis Hutan Tropis
Akhir-akhir ini berbagai aktivitas manusia yang banyak melibatkan beberapa kehiatan seperti pembukaan hutan , penebangan kayu , penambangan , pembukaan lahan pertanian dan perkotaan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan berupa rusaknya vegetasi hutan sebagai habitat satwa dan kemungkinan hilangnya jenis- jenis flora atau fauna endemik langka sebagai sumbee plasma nutfah potensial , rusaknya sistem tata air (waterhed) , meningkatnya laju erosi permukaan , menurunkan produktivitas dan stabilitas lahan serta biodiversitas flora dan fauna (Fitriatin , B.N , 2002).
Di lapangan, proses revegetasi ini tidaklah mudah untuk dilakukan. Area yang akan direvegetasi kondisi tanahnya (fisik, kimia dan biologi) telah rusak (marginal) dan tidak mampu mendukung pertumbuhan tanaman dengan baik (Setiyadi dan Arif , 2011).
Dalam pelaksanaanya, program reboisasi dan revegetasi teresebut seringkali mendapat hambatan yang serius karena kondisi tanah yang tidak menguntungkan. Kendala fisik dan kimia tanah yang sering dijumpai antara laian reaksi tanaha yang rendah (pH rendah), kahat hara terutatama pospor (P) dan nitrogen (N), lapisan tanah yang tipis dan miskin organik. Kondisi tersebut kendala utama dalam pertumbuhan dan keberhasilan reboisasi. Semai yang baru ditanaman pertumbuhanya lambat karena daya hidupnya rendah. Hal ini terutama disebabkan kondisi tanah yang tidak menguntungkan untuk menyokong pertumbuhan tanaman. Tanaman sukar tumbuh dan mempunyai daya dukung yang rendah.1
Untuk menunjang keberhasilan dalam program revergetasi dab  rehabilittasi lahan-lahan rusak tersebut, diperlukan suatau strategi pengembangan bioteknologi dengan pemanfaatan cendawan mikoriza arbuskula yangdiharapkan mampu bertindak sebagai agens bioremediator dan penyubur lahan-lahan mati di wilayah reboisasi.
Fungi ini dapat membantu proses revegetasi dengan meningkatkan daya larut mineral, meningkatkan pengambilan nutrisi, mengikat partikel tanah menjadi agregat yang stabil dan meningkatkan toleransi terhadap kekeringan dan keracunan logam (Linderman & Pfleger, 1994; Jasper 1994 dalam Setiadi 1995) (Setiyadi dan Arif , 2011).
FMA merupakan komponen esensial yang dibutuhkan untuk membantu meningkatkan daya hidup dan pertumbuhan tanaman, khususnya pada lokasi pasca tambang (Kiernan et al., 1983; Garedner & Malajczuk, 1988; Jasper et al., 1988 dalam Setiadi, 1995) (Setiyadi dan Arif , 2011) .
Fungi mikoriza arbuskula (FMA) dapat digunakan untuk membantu program merehabilitasi lahan-lahan kritis. Kemampuanya dalam memperbaiki status nutrisi tanaman tersebut pada saat ini dapat dijadikan sebagai alternatif strategis untuk mensubtitusikan sebagian kebutuhan pupuk yang diperlukan oleh tanaman yang ditanam pada tanah-tanah bermasalah (Setiadi,1992) dalam (Utomo,2008).
Selain membantu tanaman dalam penyerapan hara, CMA dapat menyebabkan tanaman lebih toleran terhadap tekanan lingkungan seperti kekeringan , suhu tyang ekstrem dan kemasamanb tanah. Mikoriza yaang dapat meningkatkan pembebtukan agregat tanah di sekitar perakaran tanaman sehingga sifat fisik tanah lebih baik.
Berdasarkan kemampuan tersebut, maka aplikasi inolkulan mikoriza sabgat cocok diarahkan untuk memnabtu program pemerintah dalam merehabilitasi lahan-lahan marginal dan kritis seperti lahan hutan gundul dan lahan alang-alang sebagai zona reboisasi.
3.      Peran Mikoriza Pada Area Pertambangan
Penambangan mengakibatkan keseimbangan unsur hara terganggu sedangkan kelarutan unsur yang bersifat racun meningkat. Tanah pada daerah pasca penambangan umumnya mengalami kerusakan yang hebat karena bahan tambang biasanya berada di bagian bawah tanah, sehingga untuk mendapatkan bahan yang dimaksud tanah harus disingkirkan terlebih dahulu (stripping) dan ditimbun / ditumpuk pada lokasi lain yang dipakai sebagai areal penimbunan sisa penggalian tambang (overburden dan tailing). Lapisan overburden (batuan limbah) adalah tanah atau batuan yang menutupi lapisan deposit mineral di bagian bawahnya. Tailing pada penambangan timah adalah sisa galian tambang yang berupa tumpukan pasir dan kerikil yang dibuang setelah mengalami pencucian,2
Salah satu aktivitas yang dapat merusak lahan secara ekstrim adalah dari kegiatan penambangan batubara, minyak bumi, emas, tembaga dan timah. Akibat dari kegiatan ini tanah akan kehilangan lapisan top soil dan akan mengalami kekeringan, pemadatan tanah, kemampuan menahan air rendah, sangat miskin hara (unsur hara makro seperti nitrogen dan fosfor), akumulasi unsur toksik, serta reaksi tanah (pH) masam. Hal ini merupakan fenomena umum yang dijumpai pada lahan bekas penambangan seperti tambang batubara Margaretha (2011).
Menurut Margaretha (2011) kondisi ini menyebabkan areal bekas penambangan sulit ditumbuhi oleh vegetasi karena tidak dapat tumbuh dengan baik sehingga diperlukan pupuk buatan dan organik, berbagai senyawa kimia untuk mengendalikan hama dan penyakit, sarana dan prasarana untuk menjamin ketersediaan air bagi tanaman dalam jumlah besar untuk memperbaiki atau menyehatkan ekosistem tanah agar dapat mendukung pertumbuhan tanaman.
Lahan yang mengalami degradasi karena aktivitas penambangan pada akhirnya juga merusak kehidupan mikroba tanah (makro dan mikro). Padahal fungsi mikroba tanah sangat penting dalam siklus hara. Perubahan-perubahan ini yang menjadi kendala dan masalah serius karena mengganggu keseimbangan ekosistem (Margaretha,2011)
Pupuk hayati yang dapat digunakan dalam rehabilitasi lahan bekas pertambangan adalah mikoriza. Menurut Kroop dan Langlois (1990) mikoriza merupakan suatu bentuk simbiosis mutualisme antara cendawan dan akar tanaman tinggi (higher plants). Pemanfaatan cendawan mikoriza dalam rehabilitasi lahan bekas tambang diharapkan dapat sebagai salah satu alternatif memperbaiki kualitas tanah yang rusak Margaretha (2011).
Cendawan mikoriza dapat ditemukan hampir pada sebagian besar tanah dan pada umumnya tidak mempunyai inang yang spesifik. Walaupun demikian, tingkat populasi dan komposisi jenis sangat beragam dan dipengaruhi oleh karakteristik tanaman dan faktor lingkungan seperti suhu, pH tanah, kelembaban tanah, kandungan fosfor dan nitrogen, serta konsentrasi logam berat.
Menurut Margaretha (2011) bahwa mikoriza merupakan agens bioremediasi lahan kritis bekas tambang yang bisa diadalakan karena eksistensi mikoriza dalam bertahan hidup pada lahan-lahan kritis dan lingkunan berbahaya.
4.      Peran Mikoriza Sebagai Agens Bioremediatot Logam Berta
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa MA dapat membantu pertumbuhan tanaman pada tanah yang tercemar logam-logam berat seperti lahan bekas tambang (Linderman and Pfleger, 1994 dalam Setiadi, 1999) dalam Widyati (2007).
Menurut Khan et al. (2000), MA yang berasosiasi dengan tumbuhan yang tumbuh pada tanah-tanah yang terkontaminasi logam berat telah berevolusi menjadi toleran terhadap logam berat. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa MA dari genus Glomus dan Gigaspora banyak ditemukan berasosiasi dengan tumbuhan yang tumbuh pada tanah-tanah yang terpolusi logam berat (Khan et al., 2000) dalam Widyati (2007).
Disamping itu, Marschner (1992) dalam Setiadi (1999) menyatakan bahwa MA dapat membantu rhizobia memenuhi unsur hara mikro seperti Cu, Zn dan Bo, di mana Bo merupakan unsur yang diperlukan untuk bersimbiosis dengan tanaman legum. Haselwandter and Bowen (1996) mengacu pada Robson (1983) bahwa mikoriza dapat meningkatkan unsur-unsur yang diperlukan untuk penambatan nitrogen secara biologis seperti P, S, Ca, Zn, Mo, Co dan Cu. Meningkatnya nodulasi akan dapat memperbaiki pertumbuhan bibit. Pertumbuhan bibit yang baik diharapkan dapat meningkatkan survival rate bibit di lapangan sehingga akan dapat meningkatkan keberhasilan rehabilitasi lahan Widyati (2007).






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Mikoriza mempunyai peran yang sangat penting terhadap lingkungan, khususnya sebagai agens bioremediator dan pupuk hayati yang digunakan pada lahan-lahan kritis seperti bekas tambang, lahan padang alang-alang, tanah dengan kandungan logam berat tinggi serta pada lahan kering dan kurang subur.


DAFTAR PUSTAKA
Fitriati, B.N , Dkk. 2008. Aktivitas Enzim Fosfatase Dan Ketersediaan Fosfat Tanah Pada Sistem Tumpangsari Tanaman Pangan Dan Jati ( Tectona Grandis L.f) Setelah Aplikasi Pupuk Hayati. Jurnal Agrikultura 19 (3) : 161-166.

Fitriatin, B.N. T.T.  Prospek pemanfaatan Mikoroba Potensial pada Lahan Kritis di Indonesia. Fakukltas Pertanian Universitas Padjajaran.

Hayati, Nahrul . 2011. Uji Efektivitas Wastetreat ™ Untuk Bioremediasi Logam Berat Dalam Sludge Pabrik Kertas Deinking . Skripsi : Fakultas Pertanian IPB.

Husna , dkk . 2007 . Aplikasi Mikoriza Untuk Memacu Pertumbuhan Jati Di Muna.  Info Teknis.  5 (1) : 1-4.

Kartika , Ardianan. T.T . Mikoriza . Laboratorium Pengamatan Hama Dan Penyakit Banyuma.

Margaretha .2011. Eksplorasi Dan Identifikasi Mikoriza Indigen Asal tanah Bekas Tambang Batubara. Berita Biologi.10(5) : 641-647.

Munir , Erman .2006. Pemanfaatan Mikroba Dalam Bioremediasi : Suatu Teknolgi Alternatif Plestarian Lingkungan. Pengukuhan Guru BEsar USU.

Musfal . 2010. Potensi Cendawan Mikoriza Arbuskula Untuk Meningkatkan Hasil Tanaman Jagung . Jurnal Litbang Pertanian . 29(4) : 154 – 158.

Novera .2008. Analisis Vegetasi, Karakteristik Tanah Dan Kolonisasi Fungi Mikoriza Arbuskula (Fma) Pada Lahan Bekas Tambang Timah Di Pulau Bangka. Skripsi : ITB.

Prasetya, B.H dan Sudiakarta. 2006. Karakteristik, Potensi, Dan Teknologi Pengelolaan Tanah Ultisol Untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering Di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 25(2): 39-47.

Santoso , dkk . 2007. Aplikasi Mikoriza Untuk Meningkatkan Kegiatan Rehabilitasi Hutan Dan Lahan Terdegradasi. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian

Setiadi dan Arif .2011. Studi Status Fungi Mikoriza Arbuskula di Areal Rehabilitasi Pasca Penambangan Nikel (Studi Kasus PT INCO Tbk. Sorowako, Sulawesi Selatan). Jurnal Silvikultur Tropika 3(1) : 88 – 95

Utomo , Budi . 2008.  Penggunaan Mikoriza dalam Upaya Meningkatkan pertumbuhan Tanaman  Jarak Pada lahan Kritis. Jurnal Agria 5 (1) : 13-15.
Widiastuti , Dkk. 2002. Optimasi Simbiosis Cendawan Mikoriza Arbuskula Acaulospora Tuberculata Dan Gigaspora Margarita Pada Bibit Kelapa Sawit Di Tanah Masam. Menara Perkebunan. 70(2): 50-57

Widyati, Enny .2007. Formulasi Inokulum Mikroba: MA, BPF Dan Rhizobium Asal Lahan Bekas Tambang Batubara Untuk Bibit Acacia Crassicarpa Cunn. Ex-Benth. Jurnal Biodiversitas. 8 (3) : 238-241.

Willey et al.2008.Microbiology seventh Edition.McGraw-Hill,New York

Kamis, 20 Desember 2012

mikoriza



BAB 1
ISI
A.    MIKORIZA ARBUSKULAR
Menurut Willay et al (2008) bahawa Fungi mikoriza arbuskular merupakan  jenis mikoriza yang paling umum yang dapat ditemukan ketika berasosiasi dengan tanaman tropis. mikroba ini akan memasuki sel akar tepatnya pada dinding selnya serta menginvaginasi pada membran plasma tapi tidak merusak membran sel. FAM juga dipercaya bisa memberikan perlindungan tanaman dari berbagai penyakit dan hama. Selain itu, FMA juga bisa meningkatkan daya saing tanaman serta adaptasi terhadap lingkungan.
FMA diketahui mampu memperbaiki pertumbuhan dan hasil tanaman pada tanah-tanah dengan kondisi yang kurang menguntungkan. FMA yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan memproduksi jaringan hifa eksternal yang tumbuh secara ekspansif dan menembus lapisan sub soil sehingga meningkatkan kapasitas akar dalam penyerapan hara dan air ( Cruz et al,2004) dalam (Hartoyo dkk,2011). Selain itu menurut Karthikeyan(2008) FMA bisa menambah kemampuan akar tanaman dalam mengabsorbsi beberapa nutrien tanah seperti P,Zn, Cu dan lainya. FMA  juga  mampu meningkatkan kemampuan pertahanan tanaman dari patogen akar. FMA merupakan salah satu agen pengendali hayati yang digunakan untuk mengendalikan patogen tular tanah dan mampu meningkatkan penebalan lignin dinding sel tanaman sehingga terjadi penambahan rigiditas mekanik dan kekuatan dinding sel ,serta FMA mampu merangsang tanaman inang untuk meningkatkan konsentrasi fitoaleksin (Huzhe et al,2005) dalam (Rosiana,2009).
Jadi mikoriza adalah suatu bentuk hubungan simbiosis mutualisma antara cendawan dan perakaran tumbuhan tingkat tinggi. Simbiosis ini terjadi saling menguntungkan, cendawan memperoleh karbohidrat dan unsur pertumbuhan lain dari tanaman inang, sebaliknya cendawan memberi keuntungan kepada tanaman inang, dengan cara membantu tanaman dalam menyerap unsur hara terutama unsur P. Berdasarkan struktur tumbuh dan cara infeksi maka mikoriza dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar yakni Ektomikoriza dan Endomikoriza (CMA) ( Husna , dkk ,2007 ).
B.     JENIS MIKORIZA
Ada beberapa tipe mikoriza, yaitu Endomikoriza / Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA), ektomikoriza, ericoid mikoriza, monotropoid mikoriza, mikoriza anggrek dan arbutoid mikoriza. Namun secara umum tipe mikoriza yang banyak terjadi adalah MVA dan ektomikoriza.
1. Endomikoriza / Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA)
MVA memiliki struktur berupa vesikel dan arbuskul. Vesikel merupakan penggelembungan hifa MVA yang berbentuk bulat dan berfungsi sebagai tempat penyimpan cadangan makanan. Sedangkan arbuskul merupakan sistem percabangan hifa yang kompleks, bentuknya seperti akar halus dan berfungsi sebagai tempat pertukaran nutrisi antara jamur dan tanaman. MVA berpotensi untuk dikembangkan sebagai pupuk hayati (biofertilizer).
2. Ektomikoriza
Ektomikoriza memikili struktur berupa mantel hifa yang berfungsi sebagai tempat pertukaran nutrisi, tidak membentuk vesikel maupun arbuskul dan umumnya membentuk badan buah yang tergolong dalam kelas Basidiomycetes atau Ascomycetes. Struktur anatomi MVA berbeda dengan ektomikoriza. Akar yang bersimbiosa dengan ektomikoriza memiliki mantel yang dapat dilihat dengan mata telanjang dan tidak masuk ke dalam dinding sel tanaman inang, sedangkan akar yang bersimbiosa dengan MVA harus diamati di bawah mikroskop setelah dilakukan perlakuan khusus dan pewarnaan karena vesikel atau arbuskulnya terbentuk di dalam sel inang.
Mikoriza berperan dalam meningkatkan ketahanan hidup tanaman terhadap penyakit, kekeringan atau kondisi ekstrim lainnya dan meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan bertambahnya kemampuan akar dalam menyerap unsur hara yang dibutuhkan. Akar tanaman yang pendek dan serabut atau akar tanaman yang tidak dapat tumbuh dengan baik akibat sifat fisik dan kimia tanah yang rusak dapat terbantu perannya dalam menyerap air dan unsur hara. Hifa mikoriza yang telah menginfeksi akar tanaman dapat menjulur sampai 10 meter sehingga mampu menyerap unsur hara dan air pada daerah yang tidak dapat terjangkau oleh akar. Pada tanaman bermikoriza, respon tanaman yang mengalami cekaman kekeringan cenderung lebih dapat bertahan dari kerusakan korteks dibandingkan tanaman tanpa mikoriza. Gangguan perakaran ini tidak akan berpengaruh permanen pada akar-akar bermikoriza. Peranan langsung mikoriza adalah membantu akar dalam meningkatkan penyerapan air karena hifa cendawan masih mampu menyerap air dari pori-pori tanah pada saat akar tanaman sudah mengalami kesulitan mengabsorbsi air, hal ini dikarenakan hifa utama cendawan mikoriza di luar akar membentuk percabangan hifa yang lebih kecil dan halus dari rambut akar dengan diameter kira-kira 2μ m (Sasli, I, 2004).

C.     PERAN MIKRORIZA SEBAGAI AGENS PUPUK HAYATI
Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) adalah salah satu tipe cendawan pembentuk mikoriza yang akhir–akhir ini mendapat perhatian dari para ahli lingkungan dan biologis untuk dikembangkan sebagai pupuk hayati pupuk biologis. CMA merupakan sumber daya alam hayati potensial yang terdapat di alam dan dapat ditemukan hampir di berbagai eksosistem. Cendawan ini mampu membentuk simbiosis dengan sebagian besar (97%) famili tanaman darat. Eksplorasi jenis – jenis CMA dapat dilakukan pada berbagai ekosistem yang masih alami maupun yang telah mengalami gangguan, dari kegiatan ini dapat diidentifikasi dan dipetakan jenis-jenis CMA dominan yang spesifik terdapat di suatu daerah ( Husna ,dkk ,2007 ).
Penggunaan CMA tidak membutuhkan biaya yang besar karena : (a) teknologi produksinya murah, b) semua bahan tersedia di dalam negeri, c) dapat diproduksi dengan mudah dilapangan, d) pemberian cukup sekali seumur hidup tanaman dan memiliki kemampuan memberikan manfaat pada rotasi tanaman berikutnya (Husna, 1998) , e) tidak menimbulkan polusi dan f) tidak merusak struktur tanah ( Husna ,dkk ,2007 ).
Keuntungan yang diharapkan dari pemanfaatan cendawan ini kaitannya dengan pertumbuhan, kualitas dan produktivitas tanaman jati adalah dapat membantu akar tanaman dalam penyerapan unsur hara makro dan mikro terutama fosfat (mekanismenya terjadi peningkatan permukaan absorbsi, kerja enzim fosfatase dan enzim oksalat), lebih banyak memanen air karena dapat menjangkau pori–pori mikro tanah yang tidak bisa dijangkau oleh rambut–rambut akar, meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan (mekanisme ; penyerapan hifa sangat luas, laju transpirasi lebih kecil per satuan luas daun dan peningkatan tekanan osmotik), patogen akar (mekanisme ; memperbaiki nutrisi tanaman, lapisan hifa yang menutupi akar, melepaskan antibiotik), pencemaran logam berat (mekanisme kerja dari hifa cendawan) dan tingkat salinitas. Cendawan ini juga menghasilakan zat pengatur tumbuh (hormon) yang dapat menstimulasi pertumbuhan tanaman (Husna,dkk ,2007).
Keuntungan lain yang diperoleh dari cendawan ini adalah dapat dijadikan sebagai bio indikator kualitas lingkungan, mempertahankan stabilitas ekosistem dan keanekaragaman hayati karena dapat mempercepat terjadinya suksesi secara alamiah pada habitat-habitat yang mengalami gangguan yang ekstrim, memperbaiki struktur tanah, sebagai jembatan transfer carbon dari akar tanaman ke organisme tanah lainnya. Keberadaan cendawan di dalam tanah bersinergis dengan mikroba potensial seperti bakteri penambat nitrogen (keberadaan CMA diperlukan tanaman leguminosa untuk pembentukan bintil akar dan efektifitas penambatan nitrogen oleh rhizobium/bradyrhizobium) dan bakteri pelarut fosfat, jasad-jasad renik selulotik seperti Tricoderma sp. (Husna,dkk ,2007).
Cendawan mempunyai peran terhadap keberlanjutan regenerasi tanaman dan memberi kontribusi positif terhadap keberadaan spesies tanaman pada suatu komunitas. Peran itu dilakukan dengan empat cara yaitu ; 1) cendawan mikoriza berpengaruh positif terhadap reproduksi (melalui persilangan jantan dan betina) dan kemampuan adaptasi tanaman, 2) kolonisasi cendawan mikoriza dapat meningkatkan kepadatan populasi tanaman, 3) kolonisasi cendawan dapat meningkatkan kualitas ukuran dan produktivitas tanaman pada populasi tanaman dan 4) sebagai sumber inokulum penting terhadap pembangunan hutan terutama pada skala persemaian (Husna,dkk ,2007).


D.    APLIKASI MIKORIZA
Mikoriza dapat dikemas dalam berbagai bentuk produk. Kemasan teknologi yang paling sederhana dan praktis untuk jenis cendawan ektomikoriza yang sporanya berlimpah adalah bentuk tablet spora. Selain itu ada kemasan lain yang cukup praktis di mana organ cendawan spora, hifa dan propagul lain dapat dikapsulkan dan dicampur dengan bahan dasar olahan rumput laut (alginat). Sedangkan untuk jenis cendawan endomikoriza adalah dengan cara memperbanyaknya pada inang tanaman semusim selama 3 bulan dan selanjutnya spora yang telah terbentuk pada sistem perakaran dapat dipanen dan dikemas dengan pembawa dari pasir atau batuan zeolite ( Santoso dkk, 2007).
E.     Perbanyakan Mikoriza
Perbanyakan atau pembuatan pupuk hayati mikoriza melalui beberapa tahapan yaitu
1.      Sterilisasi Media
Tahap kegiatan ini merupakan salah satu cara untuk meningkatkan tingkat kolonisasi mikoriza (>80 %) yang akan diinokulasi di persemaian. Keputusan untuk melakukan salah satu teknik sterilisasi harus mempertimbangkan jenis media yang digunakan dan tingkat persaingan cendawan mikoriza yang akan digunakan terhadap jenis mikroba pada sistem perakaran, karena pada umumnya cendawan mikoriza sangat lambat pertumbuhannya pada media buatan dibandingkan dengan cendawan penyebab penyakit. Dengan demikian sterilisasi media masih diperlukan untuk mengurangi tingkat persaingan cendawan/bakteri yang menghambat proses kolonisasi ektomikoriza, seperti cendawan Pythium sp. dan Rhizoctonia sp. penyebab penyakit lodoh (damping off) di persemaian ( Santoso dkk , 2007 ).
Media perbanyakan yaitu pasir, pupuk kandang dan zeolith dipanaskan dalam autoclave selama 20 menit guna membunuh mikroorganisme yang hidup pada media perbanyakan sehingga mengurangi kompetisi antara mikoriza dengan mikroorganisme lainnya dan agar tanaman inang tidak terserang hama penyakit. Setelah steril, media perbanyakan dimasukkan kedalam pot – pot plastik, media perbanyakan siap untuk digunakan ( Katika , T.T )
Dalam sterilisasi media, menurut Santoso (2007) ada beberapa hal yang penting untuk dipethatikan yaitu antara lain :
1) Sinar Matahari
Untuk daerah tropis seperti di Indonesia dapat memanfaatkan keberadaan sinar matahari sebagai cara untuk mematikan cendawan penyebab penyakit. Dengan cara menyediakan tempat penjemuran beratapkan seng plastik dan dibuat kondisi agak menyungkup, akan timbul pengaruh rumah kaca yang suhunya dapat meningkat sampai 50-60oC selama lima jam. Dalam beberapa hari media yang dijemur dapat dimasukkan ke dalam kontainer.
2) Autoclave
Penggunaan autoclave lebih banyak digunakan untuk serangkaian percobaan dalam skala uji coba kecocokan jenis mikoriza. Media dipanaskan sampai suhu 121o C pada tekanan 1 atmosfer selama 60 menit. Untuk skala lapangan cara ini tidak praktis.
3) Teknik Fumigasi
Teknik fumigasi merupakan salah satu cara untuk mengurangi dan mematikan jumlah populasi mikroba tanah yang tidak disukai dan dapat mempengaruhi perkembangan awal cendawan mikoriza di sekitar perakaran inang. Salah satu kelemahan dari cendawan ektomikoriza ini adalah pertumbuhan hifa/miselia sangat lambat pada media buatan maupun di tanah. Sedangkan cendawan penyakit mempunyai kemampuan pertumbuhan yang cepat, dalam 1-3 hari hifa/miselia cendawan penyakit sudah berkembang cepat. Jadi apabila cendawan mikoriza bersaing dengan cendawan patogen (penyakit) maka kemungkinan kegagalan dalam proses inokulasi dan kolonisasi semakin besar, sehingga dapat dikatakan cendawan ektomikorizanya tidak efektif. Di Indonesia bahan fumigasi yang biasa digunakan adalah berbahan aktif dazomet, dengan masa inkubasi 10-14 hari. Setelah itu baru dapat dilakukan inokulasi mikoriza di persemaian.
4) Penggorengan Media
Tujuan dari penggorengan media adalah untuk mematikan mikroba lain yang hidup di dalam media sehingga menghasilkan kolonisasi mikoriza yang tinggi (> 80 %). Penggorengan dilakukan di atas api selama 3 jam. Melakukan kegiatan penggorengan dalam skala besar memang kurang praktis, karena perlu disediakan tungku khusus dan bahan bakar. Penggorengan dilakukan terutama untuk menghilangkan cendawan penyebab lodoh pada media tabur benih.
2.      Sterilisasi Permukaan Bibit
Untuk mengurangi persaingan dengan cendawan lain seperti cendawan penyebab penyakit maka perlu dilakukan sterilisasipermukaan benih sebelum ditaburkan di media tabur steril (Gambar 5). Tujuan yang ingin dicapai dari sterilisasi permukaan ini adalah untuk mendapatkan tingkat kolonisasi cendawan ektomikoriza yang diinokulasi di persemaian ( Santoso dkk , 2007 ).
Bahan sterilant yang biasa digunakan menurut Santoso (2007 ) untuk sterilisasi permukaan benih adalah :
a.        Sodium hypochlorit (NaOCl) 5%, digunakan untuk sterlisasi permukaan sela ma 10 menit. Kemudian benih dibilas dengan air sampai bersih.
b.      Hydrogen peroxide (H202) 30% juga dapat untuk sterilisasi permukaan selama 5 menit dan selanjutnya dibilas dengan air sampai bersih.
3.      Penanaman ( Inokulasi )
Teknik inokulasi merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan perbanyakan mikoriza. Tiap jenis mikoriza mempunyai teknik perbanyakan yang berbeda-beda. Berikut beberapa teknik inokulasi berbagai jenis mikoriza menurut Santoso (2007 ) :
a. Ektomikoiza
Inokulasi cendawan ektomikoriza diprioritaskan pada jenis-jenis meranti, pinus, eucalyptus, Gnetum gnemon, dan beberapa jenis dari kelompok Fagaceae. Teknik inokulasi ektomikoriza pada dasarnya dapat terjadi secara alam maupun secara buatan. Teknik inokulasi ektomikoriza secara alam terjadi melalui proses sebagai berikut :
1.      Penularan Secara Alam
a.       Menggunakan inokulum tanah yang bermikoriza sebagai media tanam bibit dengan cara memanfaatkan media tanah yang berasal dari bawah tegakan inang yang bermikoriza sedalam 0-20 cm dari permukaan tanah sebagai media tanam, diharapkan secara alamiah mikoriza yang terdapat pada media tanah akan mengkolonisasi perakaran bibit yang ditanam pada media tersebut. Untuk lebih menjamin kehidupan bibit, media tanah (topsoil) yang bermikoriza masih perlu ditambah dengan pupuk dasar NPK dosis 0,5 g/kg tanah bisa dalam bentuk larutan (1 %) setiap satu minggu.
b.      Penanaman pohon induk bermikoriza (mother trees). Di bedeng persemaian ukuran 1 x 5 m, sebelum bibit ditanam terlebih dahulu ditanam pohon induk yang telah terkolonisasi ektomikoriza. Kemudian baru dilakukan pena-naman bibit di bedeng semai di antara pohon induk bermikoriza. Dengan cara menanam bibit berdekatan dengan pohon induk yang bermikoriza diharapkan terjadi penularan secara alamiah yang akhirnya diperoleh bibit tanaman bermikoriza dalam kurun waktu 10-12 bulan. Di Perum Perhutani cara ini dipakai di persemaian Pinus merkusii. Caranya adalah dengan menyusui bibit Pinus yang masih kecil di bedeng-bedeng persemaian dengan bibit Pinus merkusii yang telah bermikoriza berukuran 30- 40 cm.
2.      Penularan Secara Buatan (Menggunaan Spora dan Miselia)
a.       Penggunaan suspensi spora
Biasanya memanfaatkan ketersediaan cendawan yang memiliki kapasitas produksi spora yang besar seperti Pisolithus, Scleroderma dan Rhizopogon. Dengan cara suspensi yaitu jumlah 5 g spora dicampur per 10 liter air dan diaduk sampai merata maka suspensi spora dapat digunakan untuk menginokulasi bibit sebanyak 5.000 bibit. Untuk menghindari spora terbawa air dan menempel di akar maka perlu ditambah dengan bahan perekat berupa larutan tween 20 yang mirip seperti bahan deterjen 2-3 tetes.
b.      Penggunaan spora ektomikoriza pada sistem irigasi
Kegiatan ini telah dilakukan pada perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) Eucalyptus spp. di Chili (Amerika Selatan) dengan persyaratan sebagai berikut: (i) Stok spora ektomikoriza (seperti dari jenis Pisolithus sp., Scleroderma sp. dan Rhizopogon sp.) tersedia berlimpah di alam dan mencukupi untukkegiatan inokulasi; (ii) inokulasi dilakukan dengan menaburkan spora ektomikoriza pada bak penampungan air sentral setelah benih disapih pada kontainer polytube. Kemudian kegiatan ini dilakukan sekali lagi pada minggu ke-4 untuk menghasilkan tingkat kolonisasi ektomikoriza yang lebih baik.
3.      Tablet spora
Tahapan kerja dari teknik inokulasi dengan menggunakan tablet spora, sebagai berikut :
a.       Tablet dapat diinokulasi pada saat penyapihan (over spin) bibit Pinus yang masih berkotiledon bentuk seperti pentol korek. Satu tablet diberikan untuk satu bibit. Letak tablet sebaiknya dekat dengan sistem perakaran.
b.      Tablet spora dapat diinokulasi dengan menggunakan molen dalam skala operasional. Media tanam diusahakan dalam keadaan kering (tidak terlalu lembab). Molen diputar bersamaan dengan masuknya media tanam, tablet spora, dan pupuk dasar dengan dosis tertentu. Setelah dilakukan pemutaran selama 20-30 menit, media tanam yang telah berisi tablet spora dan pupuk dasar dimasukan ke dalam kontainer bibit.
4.      Kapsul Spora
Selanjutnya pada kapsul spora, teknik penggunaannya sebagai berikut :
a.       Penggunaan kapsul spora sama dengan penggunaan tablet spora.
b.      Biaya produksi kapsul spora lebih banyak digunakan pada penyediaan gelatin (selongsong kapsul).
c.       Tingkat efektivitas kapsul spora sama dengan tablet spora.
5.      Penularan dengan menggunakan Miselia
Bahan dan alat yang digunakan adalah miselia ektomikoriza, Sodium Alginate, Calcium Chlorida, aquadest, blender; pipet.
Tahapan kerja sebagai berikut:
a.                      Miselia ektomikoriza yang telah diperbanyak disaring dan dihancurkan dengan menggunakan blender. Potongan-potongan miselia dicampur dengan aquadest. Inokulasi dilakukan dengan menggunakan pipet ke masingmasing polybag yang telah berisi satu benih berkecambah yang baru disapih.
b.                      Biakan murni miselia cair dapat dilakukan dengan cara suspensi atau dengan cara miselia dikapsulkan terlebih dahulu ke dalam bahan gel (calcium alginate). Pada kondisi ini butiran gel yang berisi miselia telah siap diinoku-lasikan. Butiran gel akan hancur setelah disiram air dan kondisi yang lembab. Setelah itu potongan miselia akan keluar dan berkembang dengan tujuan akhir mengontak akar sehingga terjadi proses awal kolonisasi pembentukan ektomikoriza.
c.                      Kemasan dalam calcium alginate sangat cocok untuk daerah subtropis dengan sistem bareroots. Sedangkan untuk daerah tropis dapat dilaksanakan dengan cara sistem pencampuran media dengan alat molen.
b. Endomikoriza
Jenis-jenis tanaman yang berasosiasi dengan endomikoriza atau dikenal dengan sebutan CMA (Cendawan Mikoriza Arbuskular) antara lain yaitu jati, sungkai, mahoni, Eucalyptus spp., Acacia spp., Gmelina arborea, Duabanga, Khaya spp., Agathis, sonokeling, saga, puspa, waru, rasamala, saninten, mahoni dan lain-lain. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam telah mempunyai sumber inokulan CMA yang dapat diaplikasikan pada semua jenis tanaman tersebut di atas. Namun demikian untuk produksi skala massal perlu dibuat semacam unit produksi mikoriza untuk mendukung program RHL. Adapun teknik aplikasinya, sebagai berikut :
1.               Pembibitan Vegetatif CMA diberikan pada saat pemindahan bibit dari tahap perakaran ke tahap aklimatisasi (ke polybag atau polytube). CMA sebanyak 2-5 gr dimasukkan ke dalam lubang penanaman bibit. Untuk produksi bibit dalam skala besar aplikasi pemberian CMA ini dapat dicampur secara merata ke media bibit, sehingga akan efisien waktu, biaya dan tenaga.
2.               Pembibitan generatif
Pemberian CMA dapat diberikan dalam tiga cara tergantung kepada besar kecilnya benih dan kuantitas produksi bibit :
1.      Sistem lapisan
Cara ini sangat cocok untuk biji-biji ukuran kecil seperti Eucalyptus spp. Dan Acacia spp. Pada bak perkecambahan, pada lapisan paling bawah diisi dengan media perkecambahan setebal 10 cm, kemudian dilapisi dengan inokulan CMA setebal 0,5-1,0 cm dan dilapisi lagi dengan media perkecambahan setebal 0,5 cm. Biji-biji yang akan dikecambahkan ditabur pada 80 lapisan atas secara merata, kemudian ditutup dengan media perkecambahan setebal 0,5 cm.
2.      Sistem campur (molen)
Cara ini sangat cocok untuk produksi bibit dalam skala besar seperti hutan tanaman Acacia mangium atau Acacia crassicarpa yang ada di Sumatera dan Kalimantan.
F.      Manfaat Mikoriza dalam Ekologi
Menurut Musfal (2010 ) Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap perkembangan CMA. Lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman biasanya juga cocok untuk perkembangan spora CMA. Cendawan ini dapat hidup dalam tanah yang berdrainase baik hingga yang tergenang seperti lahan sawah. CMA banyak dijumpai pada tanah dengan kadar mineral tinggi, baik pada hutan primer, hutan sekunder, kebun, padang alang-alang, pantai dengan salinitas tinggi, dan lahan gambut (Soelaiman dan Hirata 1995) dalam Musfal (2010) Karena lingkungan hidup CMA yang sangat luas, CMA sering dijadikan dasar dalam upaya bioremediasi lahan kritis. Ekosistem alami CMA di daerah tropis dicirikan oleh keanekaragaman spesies yang sangat tinggi, khususnya dari jenis ektomikoriza. CMA yang banyak ditemukan berasal dari genus Acaulospora dan Glomus (Delvian et al. 2001) dalam Musfal (2010) . Hutan alami dengan beragam umur tanaman dan jenisnya sangat mendukung pertumbuhan CMA. Konservasi hutan untuk pertanian akan mengurangi keragaman jenis dan jumlah CMA karena jenis tanaman, unsur hara yang tersedia, dan kandungan bahan organik tanah telah berubah. Praktek pertanian seperti pengolahan tanah, ameliorasi bahan organik, pemupukan, dan penggunaan pestisida sangat berpengaruh terhadap keberadaan CMA (Zarate dan de la Cruz 1995) dalam Musfal (2010). Pengolahan tanah yang intensif akan merusak jaringan hifa eksternal, sebaliknya pengolahan tanah minimal akan meningkatkan populasi CMA. Sistem tumpang sari atau pergiliran tanaman juga dapat meningkatkan populasi CMA (McGonigle dan Miller 1993) dalam Musfal (2010)
Manfaat CMA bagi ekosistem dilaporkan oleh Bolan (1991) dalam Musfal (2010) CMA menghasilkan enzim fosfatase yang dapat melepaskan unsur P yang terikat unsur Al dan Fe pada lahan masam dan Ca pada lahan berkapur sehingga P akan tersedia bagi tanaman. CMA juga berperan dalam memperbaiki sifat fisik tanah, yaitu membuat tanah menjadi gembur. Menurut Wright dan Uphadhyaya (1998) dalam Musfal (2010), CMA melalui akar eksternalnya menghasilkan senyawa glikoprotein glomalin dan asamasam organik yang akan mengikat butirbutir tanah menjadi agregat mikro. Selanjutnya melalui proses mekanis oleh hifa eksternal, agregat mikro akan membentuk agregat makro yang mudah diserap tanaman.