Kamis, 20 Desember 2012

mikoriza



BAB 1
ISI
A.    MIKORIZA ARBUSKULAR
Menurut Willay et al (2008) bahawa Fungi mikoriza arbuskular merupakan  jenis mikoriza yang paling umum yang dapat ditemukan ketika berasosiasi dengan tanaman tropis. mikroba ini akan memasuki sel akar tepatnya pada dinding selnya serta menginvaginasi pada membran plasma tapi tidak merusak membran sel. FAM juga dipercaya bisa memberikan perlindungan tanaman dari berbagai penyakit dan hama. Selain itu, FMA juga bisa meningkatkan daya saing tanaman serta adaptasi terhadap lingkungan.
FMA diketahui mampu memperbaiki pertumbuhan dan hasil tanaman pada tanah-tanah dengan kondisi yang kurang menguntungkan. FMA yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan memproduksi jaringan hifa eksternal yang tumbuh secara ekspansif dan menembus lapisan sub soil sehingga meningkatkan kapasitas akar dalam penyerapan hara dan air ( Cruz et al,2004) dalam (Hartoyo dkk,2011). Selain itu menurut Karthikeyan(2008) FMA bisa menambah kemampuan akar tanaman dalam mengabsorbsi beberapa nutrien tanah seperti P,Zn, Cu dan lainya. FMA  juga  mampu meningkatkan kemampuan pertahanan tanaman dari patogen akar. FMA merupakan salah satu agen pengendali hayati yang digunakan untuk mengendalikan patogen tular tanah dan mampu meningkatkan penebalan lignin dinding sel tanaman sehingga terjadi penambahan rigiditas mekanik dan kekuatan dinding sel ,serta FMA mampu merangsang tanaman inang untuk meningkatkan konsentrasi fitoaleksin (Huzhe et al,2005) dalam (Rosiana,2009).
Jadi mikoriza adalah suatu bentuk hubungan simbiosis mutualisma antara cendawan dan perakaran tumbuhan tingkat tinggi. Simbiosis ini terjadi saling menguntungkan, cendawan memperoleh karbohidrat dan unsur pertumbuhan lain dari tanaman inang, sebaliknya cendawan memberi keuntungan kepada tanaman inang, dengan cara membantu tanaman dalam menyerap unsur hara terutama unsur P. Berdasarkan struktur tumbuh dan cara infeksi maka mikoriza dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar yakni Ektomikoriza dan Endomikoriza (CMA) ( Husna , dkk ,2007 ).
B.     JENIS MIKORIZA
Ada beberapa tipe mikoriza, yaitu Endomikoriza / Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA), ektomikoriza, ericoid mikoriza, monotropoid mikoriza, mikoriza anggrek dan arbutoid mikoriza. Namun secara umum tipe mikoriza yang banyak terjadi adalah MVA dan ektomikoriza.
1. Endomikoriza / Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA)
MVA memiliki struktur berupa vesikel dan arbuskul. Vesikel merupakan penggelembungan hifa MVA yang berbentuk bulat dan berfungsi sebagai tempat penyimpan cadangan makanan. Sedangkan arbuskul merupakan sistem percabangan hifa yang kompleks, bentuknya seperti akar halus dan berfungsi sebagai tempat pertukaran nutrisi antara jamur dan tanaman. MVA berpotensi untuk dikembangkan sebagai pupuk hayati (biofertilizer).
2. Ektomikoriza
Ektomikoriza memikili struktur berupa mantel hifa yang berfungsi sebagai tempat pertukaran nutrisi, tidak membentuk vesikel maupun arbuskul dan umumnya membentuk badan buah yang tergolong dalam kelas Basidiomycetes atau Ascomycetes. Struktur anatomi MVA berbeda dengan ektomikoriza. Akar yang bersimbiosa dengan ektomikoriza memiliki mantel yang dapat dilihat dengan mata telanjang dan tidak masuk ke dalam dinding sel tanaman inang, sedangkan akar yang bersimbiosa dengan MVA harus diamati di bawah mikroskop setelah dilakukan perlakuan khusus dan pewarnaan karena vesikel atau arbuskulnya terbentuk di dalam sel inang.
Mikoriza berperan dalam meningkatkan ketahanan hidup tanaman terhadap penyakit, kekeringan atau kondisi ekstrim lainnya dan meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan bertambahnya kemampuan akar dalam menyerap unsur hara yang dibutuhkan. Akar tanaman yang pendek dan serabut atau akar tanaman yang tidak dapat tumbuh dengan baik akibat sifat fisik dan kimia tanah yang rusak dapat terbantu perannya dalam menyerap air dan unsur hara. Hifa mikoriza yang telah menginfeksi akar tanaman dapat menjulur sampai 10 meter sehingga mampu menyerap unsur hara dan air pada daerah yang tidak dapat terjangkau oleh akar. Pada tanaman bermikoriza, respon tanaman yang mengalami cekaman kekeringan cenderung lebih dapat bertahan dari kerusakan korteks dibandingkan tanaman tanpa mikoriza. Gangguan perakaran ini tidak akan berpengaruh permanen pada akar-akar bermikoriza. Peranan langsung mikoriza adalah membantu akar dalam meningkatkan penyerapan air karena hifa cendawan masih mampu menyerap air dari pori-pori tanah pada saat akar tanaman sudah mengalami kesulitan mengabsorbsi air, hal ini dikarenakan hifa utama cendawan mikoriza di luar akar membentuk percabangan hifa yang lebih kecil dan halus dari rambut akar dengan diameter kira-kira 2μ m (Sasli, I, 2004).

C.     PERAN MIKRORIZA SEBAGAI AGENS PUPUK HAYATI
Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) adalah salah satu tipe cendawan pembentuk mikoriza yang akhir–akhir ini mendapat perhatian dari para ahli lingkungan dan biologis untuk dikembangkan sebagai pupuk hayati pupuk biologis. CMA merupakan sumber daya alam hayati potensial yang terdapat di alam dan dapat ditemukan hampir di berbagai eksosistem. Cendawan ini mampu membentuk simbiosis dengan sebagian besar (97%) famili tanaman darat. Eksplorasi jenis – jenis CMA dapat dilakukan pada berbagai ekosistem yang masih alami maupun yang telah mengalami gangguan, dari kegiatan ini dapat diidentifikasi dan dipetakan jenis-jenis CMA dominan yang spesifik terdapat di suatu daerah ( Husna ,dkk ,2007 ).
Penggunaan CMA tidak membutuhkan biaya yang besar karena : (a) teknologi produksinya murah, b) semua bahan tersedia di dalam negeri, c) dapat diproduksi dengan mudah dilapangan, d) pemberian cukup sekali seumur hidup tanaman dan memiliki kemampuan memberikan manfaat pada rotasi tanaman berikutnya (Husna, 1998) , e) tidak menimbulkan polusi dan f) tidak merusak struktur tanah ( Husna ,dkk ,2007 ).
Keuntungan yang diharapkan dari pemanfaatan cendawan ini kaitannya dengan pertumbuhan, kualitas dan produktivitas tanaman jati adalah dapat membantu akar tanaman dalam penyerapan unsur hara makro dan mikro terutama fosfat (mekanismenya terjadi peningkatan permukaan absorbsi, kerja enzim fosfatase dan enzim oksalat), lebih banyak memanen air karena dapat menjangkau pori–pori mikro tanah yang tidak bisa dijangkau oleh rambut–rambut akar, meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan (mekanisme ; penyerapan hifa sangat luas, laju transpirasi lebih kecil per satuan luas daun dan peningkatan tekanan osmotik), patogen akar (mekanisme ; memperbaiki nutrisi tanaman, lapisan hifa yang menutupi akar, melepaskan antibiotik), pencemaran logam berat (mekanisme kerja dari hifa cendawan) dan tingkat salinitas. Cendawan ini juga menghasilakan zat pengatur tumbuh (hormon) yang dapat menstimulasi pertumbuhan tanaman (Husna,dkk ,2007).
Keuntungan lain yang diperoleh dari cendawan ini adalah dapat dijadikan sebagai bio indikator kualitas lingkungan, mempertahankan stabilitas ekosistem dan keanekaragaman hayati karena dapat mempercepat terjadinya suksesi secara alamiah pada habitat-habitat yang mengalami gangguan yang ekstrim, memperbaiki struktur tanah, sebagai jembatan transfer carbon dari akar tanaman ke organisme tanah lainnya. Keberadaan cendawan di dalam tanah bersinergis dengan mikroba potensial seperti bakteri penambat nitrogen (keberadaan CMA diperlukan tanaman leguminosa untuk pembentukan bintil akar dan efektifitas penambatan nitrogen oleh rhizobium/bradyrhizobium) dan bakteri pelarut fosfat, jasad-jasad renik selulotik seperti Tricoderma sp. (Husna,dkk ,2007).
Cendawan mempunyai peran terhadap keberlanjutan regenerasi tanaman dan memberi kontribusi positif terhadap keberadaan spesies tanaman pada suatu komunitas. Peran itu dilakukan dengan empat cara yaitu ; 1) cendawan mikoriza berpengaruh positif terhadap reproduksi (melalui persilangan jantan dan betina) dan kemampuan adaptasi tanaman, 2) kolonisasi cendawan mikoriza dapat meningkatkan kepadatan populasi tanaman, 3) kolonisasi cendawan dapat meningkatkan kualitas ukuran dan produktivitas tanaman pada populasi tanaman dan 4) sebagai sumber inokulum penting terhadap pembangunan hutan terutama pada skala persemaian (Husna,dkk ,2007).


D.    APLIKASI MIKORIZA
Mikoriza dapat dikemas dalam berbagai bentuk produk. Kemasan teknologi yang paling sederhana dan praktis untuk jenis cendawan ektomikoriza yang sporanya berlimpah adalah bentuk tablet spora. Selain itu ada kemasan lain yang cukup praktis di mana organ cendawan spora, hifa dan propagul lain dapat dikapsulkan dan dicampur dengan bahan dasar olahan rumput laut (alginat). Sedangkan untuk jenis cendawan endomikoriza adalah dengan cara memperbanyaknya pada inang tanaman semusim selama 3 bulan dan selanjutnya spora yang telah terbentuk pada sistem perakaran dapat dipanen dan dikemas dengan pembawa dari pasir atau batuan zeolite ( Santoso dkk, 2007).
E.     Perbanyakan Mikoriza
Perbanyakan atau pembuatan pupuk hayati mikoriza melalui beberapa tahapan yaitu
1.      Sterilisasi Media
Tahap kegiatan ini merupakan salah satu cara untuk meningkatkan tingkat kolonisasi mikoriza (>80 %) yang akan diinokulasi di persemaian. Keputusan untuk melakukan salah satu teknik sterilisasi harus mempertimbangkan jenis media yang digunakan dan tingkat persaingan cendawan mikoriza yang akan digunakan terhadap jenis mikroba pada sistem perakaran, karena pada umumnya cendawan mikoriza sangat lambat pertumbuhannya pada media buatan dibandingkan dengan cendawan penyebab penyakit. Dengan demikian sterilisasi media masih diperlukan untuk mengurangi tingkat persaingan cendawan/bakteri yang menghambat proses kolonisasi ektomikoriza, seperti cendawan Pythium sp. dan Rhizoctonia sp. penyebab penyakit lodoh (damping off) di persemaian ( Santoso dkk , 2007 ).
Media perbanyakan yaitu pasir, pupuk kandang dan zeolith dipanaskan dalam autoclave selama 20 menit guna membunuh mikroorganisme yang hidup pada media perbanyakan sehingga mengurangi kompetisi antara mikoriza dengan mikroorganisme lainnya dan agar tanaman inang tidak terserang hama penyakit. Setelah steril, media perbanyakan dimasukkan kedalam pot – pot plastik, media perbanyakan siap untuk digunakan ( Katika , T.T )
Dalam sterilisasi media, menurut Santoso (2007) ada beberapa hal yang penting untuk dipethatikan yaitu antara lain :
1) Sinar Matahari
Untuk daerah tropis seperti di Indonesia dapat memanfaatkan keberadaan sinar matahari sebagai cara untuk mematikan cendawan penyebab penyakit. Dengan cara menyediakan tempat penjemuran beratapkan seng plastik dan dibuat kondisi agak menyungkup, akan timbul pengaruh rumah kaca yang suhunya dapat meningkat sampai 50-60oC selama lima jam. Dalam beberapa hari media yang dijemur dapat dimasukkan ke dalam kontainer.
2) Autoclave
Penggunaan autoclave lebih banyak digunakan untuk serangkaian percobaan dalam skala uji coba kecocokan jenis mikoriza. Media dipanaskan sampai suhu 121o C pada tekanan 1 atmosfer selama 60 menit. Untuk skala lapangan cara ini tidak praktis.
3) Teknik Fumigasi
Teknik fumigasi merupakan salah satu cara untuk mengurangi dan mematikan jumlah populasi mikroba tanah yang tidak disukai dan dapat mempengaruhi perkembangan awal cendawan mikoriza di sekitar perakaran inang. Salah satu kelemahan dari cendawan ektomikoriza ini adalah pertumbuhan hifa/miselia sangat lambat pada media buatan maupun di tanah. Sedangkan cendawan penyakit mempunyai kemampuan pertumbuhan yang cepat, dalam 1-3 hari hifa/miselia cendawan penyakit sudah berkembang cepat. Jadi apabila cendawan mikoriza bersaing dengan cendawan patogen (penyakit) maka kemungkinan kegagalan dalam proses inokulasi dan kolonisasi semakin besar, sehingga dapat dikatakan cendawan ektomikorizanya tidak efektif. Di Indonesia bahan fumigasi yang biasa digunakan adalah berbahan aktif dazomet, dengan masa inkubasi 10-14 hari. Setelah itu baru dapat dilakukan inokulasi mikoriza di persemaian.
4) Penggorengan Media
Tujuan dari penggorengan media adalah untuk mematikan mikroba lain yang hidup di dalam media sehingga menghasilkan kolonisasi mikoriza yang tinggi (> 80 %). Penggorengan dilakukan di atas api selama 3 jam. Melakukan kegiatan penggorengan dalam skala besar memang kurang praktis, karena perlu disediakan tungku khusus dan bahan bakar. Penggorengan dilakukan terutama untuk menghilangkan cendawan penyebab lodoh pada media tabur benih.
2.      Sterilisasi Permukaan Bibit
Untuk mengurangi persaingan dengan cendawan lain seperti cendawan penyebab penyakit maka perlu dilakukan sterilisasipermukaan benih sebelum ditaburkan di media tabur steril (Gambar 5). Tujuan yang ingin dicapai dari sterilisasi permukaan ini adalah untuk mendapatkan tingkat kolonisasi cendawan ektomikoriza yang diinokulasi di persemaian ( Santoso dkk , 2007 ).
Bahan sterilant yang biasa digunakan menurut Santoso (2007 ) untuk sterilisasi permukaan benih adalah :
a.        Sodium hypochlorit (NaOCl) 5%, digunakan untuk sterlisasi permukaan sela ma 10 menit. Kemudian benih dibilas dengan air sampai bersih.
b.      Hydrogen peroxide (H202) 30% juga dapat untuk sterilisasi permukaan selama 5 menit dan selanjutnya dibilas dengan air sampai bersih.
3.      Penanaman ( Inokulasi )
Teknik inokulasi merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan perbanyakan mikoriza. Tiap jenis mikoriza mempunyai teknik perbanyakan yang berbeda-beda. Berikut beberapa teknik inokulasi berbagai jenis mikoriza menurut Santoso (2007 ) :
a. Ektomikoiza
Inokulasi cendawan ektomikoriza diprioritaskan pada jenis-jenis meranti, pinus, eucalyptus, Gnetum gnemon, dan beberapa jenis dari kelompok Fagaceae. Teknik inokulasi ektomikoriza pada dasarnya dapat terjadi secara alam maupun secara buatan. Teknik inokulasi ektomikoriza secara alam terjadi melalui proses sebagai berikut :
1.      Penularan Secara Alam
a.       Menggunakan inokulum tanah yang bermikoriza sebagai media tanam bibit dengan cara memanfaatkan media tanah yang berasal dari bawah tegakan inang yang bermikoriza sedalam 0-20 cm dari permukaan tanah sebagai media tanam, diharapkan secara alamiah mikoriza yang terdapat pada media tanah akan mengkolonisasi perakaran bibit yang ditanam pada media tersebut. Untuk lebih menjamin kehidupan bibit, media tanah (topsoil) yang bermikoriza masih perlu ditambah dengan pupuk dasar NPK dosis 0,5 g/kg tanah bisa dalam bentuk larutan (1 %) setiap satu minggu.
b.      Penanaman pohon induk bermikoriza (mother trees). Di bedeng persemaian ukuran 1 x 5 m, sebelum bibit ditanam terlebih dahulu ditanam pohon induk yang telah terkolonisasi ektomikoriza. Kemudian baru dilakukan pena-naman bibit di bedeng semai di antara pohon induk bermikoriza. Dengan cara menanam bibit berdekatan dengan pohon induk yang bermikoriza diharapkan terjadi penularan secara alamiah yang akhirnya diperoleh bibit tanaman bermikoriza dalam kurun waktu 10-12 bulan. Di Perum Perhutani cara ini dipakai di persemaian Pinus merkusii. Caranya adalah dengan menyusui bibit Pinus yang masih kecil di bedeng-bedeng persemaian dengan bibit Pinus merkusii yang telah bermikoriza berukuran 30- 40 cm.
2.      Penularan Secara Buatan (Menggunaan Spora dan Miselia)
a.       Penggunaan suspensi spora
Biasanya memanfaatkan ketersediaan cendawan yang memiliki kapasitas produksi spora yang besar seperti Pisolithus, Scleroderma dan Rhizopogon. Dengan cara suspensi yaitu jumlah 5 g spora dicampur per 10 liter air dan diaduk sampai merata maka suspensi spora dapat digunakan untuk menginokulasi bibit sebanyak 5.000 bibit. Untuk menghindari spora terbawa air dan menempel di akar maka perlu ditambah dengan bahan perekat berupa larutan tween 20 yang mirip seperti bahan deterjen 2-3 tetes.
b.      Penggunaan spora ektomikoriza pada sistem irigasi
Kegiatan ini telah dilakukan pada perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) Eucalyptus spp. di Chili (Amerika Selatan) dengan persyaratan sebagai berikut: (i) Stok spora ektomikoriza (seperti dari jenis Pisolithus sp., Scleroderma sp. dan Rhizopogon sp.) tersedia berlimpah di alam dan mencukupi untukkegiatan inokulasi; (ii) inokulasi dilakukan dengan menaburkan spora ektomikoriza pada bak penampungan air sentral setelah benih disapih pada kontainer polytube. Kemudian kegiatan ini dilakukan sekali lagi pada minggu ke-4 untuk menghasilkan tingkat kolonisasi ektomikoriza yang lebih baik.
3.      Tablet spora
Tahapan kerja dari teknik inokulasi dengan menggunakan tablet spora, sebagai berikut :
a.       Tablet dapat diinokulasi pada saat penyapihan (over spin) bibit Pinus yang masih berkotiledon bentuk seperti pentol korek. Satu tablet diberikan untuk satu bibit. Letak tablet sebaiknya dekat dengan sistem perakaran.
b.      Tablet spora dapat diinokulasi dengan menggunakan molen dalam skala operasional. Media tanam diusahakan dalam keadaan kering (tidak terlalu lembab). Molen diputar bersamaan dengan masuknya media tanam, tablet spora, dan pupuk dasar dengan dosis tertentu. Setelah dilakukan pemutaran selama 20-30 menit, media tanam yang telah berisi tablet spora dan pupuk dasar dimasukan ke dalam kontainer bibit.
4.      Kapsul Spora
Selanjutnya pada kapsul spora, teknik penggunaannya sebagai berikut :
a.       Penggunaan kapsul spora sama dengan penggunaan tablet spora.
b.      Biaya produksi kapsul spora lebih banyak digunakan pada penyediaan gelatin (selongsong kapsul).
c.       Tingkat efektivitas kapsul spora sama dengan tablet spora.
5.      Penularan dengan menggunakan Miselia
Bahan dan alat yang digunakan adalah miselia ektomikoriza, Sodium Alginate, Calcium Chlorida, aquadest, blender; pipet.
Tahapan kerja sebagai berikut:
a.                      Miselia ektomikoriza yang telah diperbanyak disaring dan dihancurkan dengan menggunakan blender. Potongan-potongan miselia dicampur dengan aquadest. Inokulasi dilakukan dengan menggunakan pipet ke masingmasing polybag yang telah berisi satu benih berkecambah yang baru disapih.
b.                      Biakan murni miselia cair dapat dilakukan dengan cara suspensi atau dengan cara miselia dikapsulkan terlebih dahulu ke dalam bahan gel (calcium alginate). Pada kondisi ini butiran gel yang berisi miselia telah siap diinoku-lasikan. Butiran gel akan hancur setelah disiram air dan kondisi yang lembab. Setelah itu potongan miselia akan keluar dan berkembang dengan tujuan akhir mengontak akar sehingga terjadi proses awal kolonisasi pembentukan ektomikoriza.
c.                      Kemasan dalam calcium alginate sangat cocok untuk daerah subtropis dengan sistem bareroots. Sedangkan untuk daerah tropis dapat dilaksanakan dengan cara sistem pencampuran media dengan alat molen.
b. Endomikoriza
Jenis-jenis tanaman yang berasosiasi dengan endomikoriza atau dikenal dengan sebutan CMA (Cendawan Mikoriza Arbuskular) antara lain yaitu jati, sungkai, mahoni, Eucalyptus spp., Acacia spp., Gmelina arborea, Duabanga, Khaya spp., Agathis, sonokeling, saga, puspa, waru, rasamala, saninten, mahoni dan lain-lain. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam telah mempunyai sumber inokulan CMA yang dapat diaplikasikan pada semua jenis tanaman tersebut di atas. Namun demikian untuk produksi skala massal perlu dibuat semacam unit produksi mikoriza untuk mendukung program RHL. Adapun teknik aplikasinya, sebagai berikut :
1.               Pembibitan Vegetatif CMA diberikan pada saat pemindahan bibit dari tahap perakaran ke tahap aklimatisasi (ke polybag atau polytube). CMA sebanyak 2-5 gr dimasukkan ke dalam lubang penanaman bibit. Untuk produksi bibit dalam skala besar aplikasi pemberian CMA ini dapat dicampur secara merata ke media bibit, sehingga akan efisien waktu, biaya dan tenaga.
2.               Pembibitan generatif
Pemberian CMA dapat diberikan dalam tiga cara tergantung kepada besar kecilnya benih dan kuantitas produksi bibit :
1.      Sistem lapisan
Cara ini sangat cocok untuk biji-biji ukuran kecil seperti Eucalyptus spp. Dan Acacia spp. Pada bak perkecambahan, pada lapisan paling bawah diisi dengan media perkecambahan setebal 10 cm, kemudian dilapisi dengan inokulan CMA setebal 0,5-1,0 cm dan dilapisi lagi dengan media perkecambahan setebal 0,5 cm. Biji-biji yang akan dikecambahkan ditabur pada 80 lapisan atas secara merata, kemudian ditutup dengan media perkecambahan setebal 0,5 cm.
2.      Sistem campur (molen)
Cara ini sangat cocok untuk produksi bibit dalam skala besar seperti hutan tanaman Acacia mangium atau Acacia crassicarpa yang ada di Sumatera dan Kalimantan.
F.      Manfaat Mikoriza dalam Ekologi
Menurut Musfal (2010 ) Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap perkembangan CMA. Lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman biasanya juga cocok untuk perkembangan spora CMA. Cendawan ini dapat hidup dalam tanah yang berdrainase baik hingga yang tergenang seperti lahan sawah. CMA banyak dijumpai pada tanah dengan kadar mineral tinggi, baik pada hutan primer, hutan sekunder, kebun, padang alang-alang, pantai dengan salinitas tinggi, dan lahan gambut (Soelaiman dan Hirata 1995) dalam Musfal (2010) Karena lingkungan hidup CMA yang sangat luas, CMA sering dijadikan dasar dalam upaya bioremediasi lahan kritis. Ekosistem alami CMA di daerah tropis dicirikan oleh keanekaragaman spesies yang sangat tinggi, khususnya dari jenis ektomikoriza. CMA yang banyak ditemukan berasal dari genus Acaulospora dan Glomus (Delvian et al. 2001) dalam Musfal (2010) . Hutan alami dengan beragam umur tanaman dan jenisnya sangat mendukung pertumbuhan CMA. Konservasi hutan untuk pertanian akan mengurangi keragaman jenis dan jumlah CMA karena jenis tanaman, unsur hara yang tersedia, dan kandungan bahan organik tanah telah berubah. Praktek pertanian seperti pengolahan tanah, ameliorasi bahan organik, pemupukan, dan penggunaan pestisida sangat berpengaruh terhadap keberadaan CMA (Zarate dan de la Cruz 1995) dalam Musfal (2010). Pengolahan tanah yang intensif akan merusak jaringan hifa eksternal, sebaliknya pengolahan tanah minimal akan meningkatkan populasi CMA. Sistem tumpang sari atau pergiliran tanaman juga dapat meningkatkan populasi CMA (McGonigle dan Miller 1993) dalam Musfal (2010)
Manfaat CMA bagi ekosistem dilaporkan oleh Bolan (1991) dalam Musfal (2010) CMA menghasilkan enzim fosfatase yang dapat melepaskan unsur P yang terikat unsur Al dan Fe pada lahan masam dan Ca pada lahan berkapur sehingga P akan tersedia bagi tanaman. CMA juga berperan dalam memperbaiki sifat fisik tanah, yaitu membuat tanah menjadi gembur. Menurut Wright dan Uphadhyaya (1998) dalam Musfal (2010), CMA melalui akar eksternalnya menghasilkan senyawa glikoprotein glomalin dan asamasam organik yang akan mengikat butirbutir tanah menjadi agregat mikro. Selanjutnya melalui proses mekanis oleh hifa eksternal, agregat mikro akan membentuk agregat makro yang mudah diserap tanaman.

1 komentar:

  1. bussseeeeetttt . . . . daaaahhhh . . . bneer bneeerrr thu MIKORIZA sangat bermanfaat bagi tanaman pertanian !!! siiiip dah ilmu nya sangat membatu saya sebagai petani yg ingin modern !!

    BalasHapus