BAB 1
ISI
A.
MIKORIZA ARBUSKULAR
Menurut Willay et al (2008) bahawa Fungi
mikoriza arbuskular merupakan jenis
mikoriza yang paling umum yang dapat ditemukan ketika berasosiasi dengan
tanaman tropis. mikroba ini akan memasuki sel akar tepatnya pada dinding selnya
serta menginvaginasi pada membran plasma tapi tidak merusak membran sel. FAM
juga dipercaya bisa memberikan perlindungan tanaman dari berbagai penyakit dan
hama. Selain itu, FMA juga bisa meningkatkan daya saing tanaman serta adaptasi
terhadap lingkungan.
FMA diketahui mampu memperbaiki
pertumbuhan dan hasil tanaman pada tanah-tanah dengan kondisi yang kurang
menguntungkan. FMA yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan
memproduksi jaringan hifa eksternal yang tumbuh secara ekspansif dan menembus
lapisan sub soil sehingga meningkatkan kapasitas akar dalam penyerapan hara dan
air ( Cruz et al,2004) dalam (Hartoyo dkk,2011). Selain itu menurut
Karthikeyan(2008) FMA bisa menambah kemampuan akar tanaman dalam mengabsorbsi
beberapa nutrien tanah seperti P,Zn, Cu dan lainya. FMA juga
mampu meningkatkan kemampuan pertahanan tanaman dari patogen akar. FMA
merupakan salah satu agen pengendali hayati yang digunakan untuk mengendalikan
patogen tular tanah dan mampu meningkatkan penebalan lignin dinding sel tanaman
sehingga terjadi penambahan rigiditas mekanik dan kekuatan dinding sel ,serta
FMA mampu merangsang tanaman inang untuk meningkatkan konsentrasi fitoaleksin
(Huzhe et al,2005) dalam (Rosiana,2009).
Jadi mikoriza adalah suatu bentuk
hubungan simbiosis mutualisma antara cendawan dan perakaran tumbuhan tingkat
tinggi. Simbiosis ini terjadi saling menguntungkan, cendawan memperoleh
karbohidrat dan unsur pertumbuhan lain dari tanaman inang, sebaliknya cendawan
memberi keuntungan kepada tanaman inang, dengan cara membantu tanaman dalam
menyerap unsur hara terutama unsur P. Berdasarkan struktur tumbuh dan cara
infeksi maka mikoriza dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar yakni
Ektomikoriza dan Endomikoriza (CMA) ( Husna , dkk ,2007 ).
B. JENIS MIKORIZA
Ada beberapa tipe mikoriza, yaitu
Endomikoriza / Mikoriza Vesikular Arbuskular (MVA), ektomikoriza, ericoid
mikoriza, monotropoid mikoriza, mikoriza anggrek dan arbutoid mikoriza. Namun
secara umum tipe mikoriza yang banyak terjadi adalah MVA dan ektomikoriza.
1. Endomikoriza / Mikoriza Vesikular
Arbuskular (MVA)
MVA memiliki struktur berupa vesikel dan arbuskul.
Vesikel merupakan penggelembungan hifa MVA yang berbentuk bulat dan berfungsi
sebagai tempat penyimpan cadangan makanan. Sedangkan arbuskul merupakan sistem
percabangan hifa yang kompleks, bentuknya seperti akar halus dan berfungsi
sebagai tempat pertukaran nutrisi antara jamur dan tanaman. MVA berpotensi
untuk dikembangkan sebagai pupuk hayati (biofertilizer).
2. Ektomikoriza
Ektomikoriza memikili struktur berupa mantel hifa
yang berfungsi sebagai tempat pertukaran nutrisi, tidak membentuk vesikel maupun
arbuskul dan umumnya membentuk badan buah yang tergolong dalam kelas Basidiomycetes
atau Ascomycetes. Struktur anatomi MVA berbeda dengan ektomikoriza. Akar yang bersimbiosa
dengan ektomikoriza memiliki mantel yang dapat dilihat dengan mata telanjang
dan tidak masuk ke dalam dinding sel tanaman inang, sedangkan akar yang
bersimbiosa dengan MVA harus diamati di bawah mikroskop setelah dilakukan
perlakuan khusus dan pewarnaan karena vesikel atau arbuskulnya terbentuk di
dalam sel inang.
Mikoriza berperan dalam meningkatkan ketahanan hidup
tanaman terhadap penyakit, kekeringan atau kondisi ekstrim lainnya dan
meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan bertambahnya kemampuan akar dalam
menyerap unsur hara yang dibutuhkan. Akar tanaman yang pendek dan serabut atau
akar tanaman yang tidak dapat tumbuh dengan baik akibat sifat fisik dan kimia
tanah yang rusak dapat terbantu perannya dalam menyerap air dan unsur hara. Hifa
mikoriza yang telah menginfeksi akar tanaman dapat menjulur sampai 10 meter
sehingga mampu menyerap unsur hara dan air pada daerah yang tidak dapat terjangkau
oleh akar. Pada tanaman bermikoriza, respon tanaman yang mengalami cekaman
kekeringan cenderung lebih dapat bertahan dari kerusakan korteks dibandingkan tanaman
tanpa mikoriza. Gangguan perakaran ini tidak akan berpengaruh permanen pada
akar-akar bermikoriza. Peranan langsung mikoriza adalah membantu akar dalam
meningkatkan penyerapan air karena hifa cendawan masih mampu menyerap air dari
pori-pori tanah pada saat akar tanaman sudah mengalami kesulitan mengabsorbsi air,
hal ini dikarenakan hifa utama cendawan mikoriza di luar akar membentuk
percabangan hifa yang lebih kecil dan halus dari rambut akar dengan diameter
kira-kira 2μ m (Sasli, I, 2004).
C. PERAN MIKRORIZA SEBAGAI AGENS PUPUK
HAYATI
Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) adalah
salah satu tipe cendawan pembentuk mikoriza yang akhir–akhir ini mendapat
perhatian dari para ahli lingkungan dan biologis untuk dikembangkan sebagai
pupuk hayati pupuk biologis. CMA merupakan sumber daya alam hayati potensial
yang terdapat di alam dan dapat ditemukan hampir di berbagai eksosistem.
Cendawan ini mampu membentuk simbiosis dengan sebagian besar (97%) famili tanaman
darat. Eksplorasi jenis – jenis CMA dapat dilakukan pada berbagai ekosistem
yang masih alami maupun yang telah mengalami gangguan, dari kegiatan ini dapat
diidentifikasi dan dipetakan jenis-jenis CMA dominan yang spesifik terdapat di
suatu daerah ( Husna ,dkk ,2007 ).
Penggunaan CMA tidak membutuhkan biaya
yang besar karena : (a) teknologi produksinya murah, b) semua bahan tersedia di
dalam negeri, c) dapat diproduksi dengan mudah dilapangan, d) pemberian cukup
sekali seumur hidup tanaman dan memiliki kemampuan memberikan manfaat pada
rotasi tanaman berikutnya (Husna, 1998) , e) tidak menimbulkan polusi dan f)
tidak merusak struktur tanah ( Husna ,dkk ,2007 ).
Keuntungan yang diharapkan dari
pemanfaatan cendawan ini kaitannya dengan pertumbuhan, kualitas dan
produktivitas tanaman jati adalah dapat membantu akar tanaman dalam penyerapan
unsur hara makro dan mikro terutama fosfat (mekanismenya terjadi peningkatan
permukaan absorbsi, kerja enzim fosfatase dan enzim oksalat), lebih banyak
memanen air karena dapat menjangkau pori–pori mikro tanah yang tidak bisa
dijangkau oleh rambut–rambut akar, meningkatkan ketahanan tanaman terhadap
kekeringan (mekanisme ; penyerapan hifa sangat luas, laju transpirasi lebih
kecil per satuan luas daun dan peningkatan tekanan osmotik), patogen akar (mekanisme
; memperbaiki nutrisi tanaman, lapisan hifa yang menutupi akar, melepaskan
antibiotik), pencemaran logam berat (mekanisme kerja dari hifa cendawan) dan
tingkat salinitas. Cendawan ini juga menghasilakan zat pengatur tumbuh (hormon)
yang dapat menstimulasi pertumbuhan tanaman (Husna,dkk ,2007).
Keuntungan lain yang diperoleh dari
cendawan ini adalah dapat dijadikan sebagai bio indikator kualitas lingkungan,
mempertahankan stabilitas ekosistem dan keanekaragaman hayati karena dapat
mempercepat terjadinya suksesi secara alamiah pada habitat-habitat yang
mengalami gangguan yang ekstrim, memperbaiki struktur tanah, sebagai jembatan
transfer carbon dari akar tanaman ke organisme tanah lainnya. Keberadaan cendawan
di dalam tanah bersinergis dengan mikroba potensial seperti bakteri penambat
nitrogen (keberadaan CMA diperlukan tanaman leguminosa untuk pembentukan bintil
akar dan efektifitas penambatan nitrogen oleh rhizobium/bradyrhizobium) dan
bakteri pelarut fosfat, jasad-jasad renik selulotik seperti Tricoderma sp.
(Husna,dkk ,2007).
Cendawan mempunyai peran terhadap
keberlanjutan regenerasi tanaman dan memberi kontribusi positif terhadap
keberadaan spesies tanaman pada suatu komunitas. Peran itu dilakukan dengan
empat cara yaitu ; 1) cendawan mikoriza berpengaruh positif terhadap reproduksi
(melalui persilangan jantan dan betina) dan kemampuan adaptasi tanaman, 2) kolonisasi
cendawan mikoriza dapat meningkatkan kepadatan populasi tanaman, 3) kolonisasi
cendawan dapat meningkatkan kualitas ukuran dan produktivitas tanaman pada
populasi tanaman dan 4) sebagai sumber inokulum penting terhadap pembangunan
hutan terutama pada skala persemaian (Husna,dkk ,2007).
D. APLIKASI MIKORIZA
Mikoriza dapat dikemas dalam berbagai bentuk produk. Kemasan
teknologi yang paling sederhana dan praktis untuk jenis cendawan ektomikoriza yang
sporanya berlimpah adalah bentuk tablet spora. Selain itu ada kemasan lain yang
cukup praktis di mana organ cendawan spora, hifa dan propagul lain dapat
dikapsulkan dan dicampur dengan bahan dasar olahan rumput laut (alginat).
Sedangkan untuk jenis cendawan endomikoriza adalah dengan cara memperbanyaknya
pada inang tanaman semusim selama 3 bulan dan selanjutnya spora yang telah
terbentuk pada sistem perakaran dapat dipanen dan dikemas dengan pembawa dari
pasir atau batuan zeolite (
Santoso dkk, 2007).
E.
Perbanyakan
Mikoriza
Perbanyakan atau pembuatan pupuk hayati mikoriza melalui beberapa
tahapan yaitu
1.
Sterilisasi
Media
Tahap kegiatan ini merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
tingkat kolonisasi mikoriza (>80 %) yang akan diinokulasi di persemaian.
Keputusan untuk melakukan salah satu teknik sterilisasi harus mempertimbangkan
jenis media yang digunakan dan tingkat persaingan cendawan mikoriza yang akan
digunakan terhadap jenis mikroba pada sistem perakaran, karena pada umumnya
cendawan mikoriza sangat lambat pertumbuhannya pada media buatan dibandingkan
dengan cendawan penyebab penyakit. Dengan demikian sterilisasi media masih
diperlukan untuk mengurangi tingkat persaingan cendawan/bakteri yang menghambat
proses kolonisasi ektomikoriza, seperti cendawan Pythium sp. dan Rhizoctonia
sp. penyebab penyakit lodoh (damping off) di persemaian ( Santoso
dkk , 2007 ).
Media perbanyakan yaitu pasir, pupuk kandang dan zeolith dipanaskan
dalam autoclave selama 20 menit guna membunuh mikroorganisme yang hidup pada
media perbanyakan sehingga mengurangi kompetisi antara mikoriza dengan
mikroorganisme lainnya dan agar tanaman inang tidak terserang hama penyakit. Setelah
steril, media perbanyakan dimasukkan kedalam pot – pot plastik, media
perbanyakan siap untuk digunakan ( Katika , T.T )
Dalam sterilisasi media, menurut Santoso (2007) ada beberapa hal yang
penting untuk dipethatikan yaitu antara lain :
1) Sinar Matahari
Untuk daerah tropis seperti di Indonesia dapat memanfaatkan
keberadaan sinar matahari sebagai cara untuk mematikan cendawan penyebab
penyakit. Dengan cara menyediakan tempat penjemuran beratapkan seng plastik dan
dibuat kondisi agak menyungkup, akan timbul pengaruh rumah kaca yang suhunya
dapat meningkat sampai 50-60oC selama lima jam. Dalam beberapa hari media yang
dijemur dapat dimasukkan ke dalam kontainer.
2) Autoclave
Penggunaan autoclave lebih banyak digunakan untuk
serangkaian percobaan dalam skala uji coba kecocokan jenis mikoriza. Media
dipanaskan sampai suhu 121o C pada tekanan 1 atmosfer selama 60 menit. Untuk
skala lapangan cara ini tidak praktis.
3) Teknik Fumigasi
Teknik fumigasi merupakan salah satu cara untuk mengurangi dan
mematikan jumlah populasi mikroba tanah yang tidak disukai dan dapat
mempengaruhi perkembangan awal cendawan mikoriza di sekitar perakaran inang.
Salah satu kelemahan dari cendawan ektomikoriza ini adalah pertumbuhan
hifa/miselia sangat lambat pada media buatan maupun di tanah. Sedangkan
cendawan penyakit mempunyai kemampuan pertumbuhan yang cepat, dalam 1-3 hari hifa/miselia
cendawan penyakit sudah berkembang cepat. Jadi apabila cendawan mikoriza
bersaing dengan cendawan patogen (penyakit) maka kemungkinan kegagalan dalam
proses inokulasi dan kolonisasi semakin besar, sehingga dapat dikatakan
cendawan ektomikorizanya tidak efektif. Di Indonesia bahan fumigasi yang biasa
digunakan adalah berbahan aktif dazomet, dengan masa inkubasi 10-14
hari. Setelah itu baru dapat dilakukan inokulasi mikoriza di persemaian.
4) Penggorengan Media
Tujuan dari penggorengan media adalah untuk mematikan mikroba lain
yang hidup di dalam media sehingga menghasilkan kolonisasi mikoriza yang tinggi
(> 80 %). Penggorengan dilakukan di atas api selama 3 jam. Melakukan
kegiatan penggorengan dalam skala besar memang kurang praktis, karena perlu
disediakan tungku khusus dan bahan bakar. Penggorengan dilakukan terutama untuk
menghilangkan cendawan penyebab lodoh pada media tabur benih.
2.
Sterilisasi
Permukaan Bibit
Untuk mengurangi persaingan dengan cendawan lain seperti cendawan
penyebab penyakit maka perlu dilakukan sterilisasipermukaan benih sebelum
ditaburkan di media tabur steril (Gambar 5). Tujuan yang ingin dicapai dari
sterilisasi permukaan ini adalah untuk mendapatkan tingkat kolonisasi cendawan
ektomikoriza yang diinokulasi di persemaian ( Santoso dkk , 2007 ).
Bahan sterilant yang biasa digunakan menurut Santoso (2007 ) untuk
sterilisasi permukaan benih adalah :
a.
Sodium hypochlorit (NaOCl) 5%, digunakan untuk
sterlisasi permukaan sela ma 10 menit. Kemudian benih dibilas dengan air sampai
bersih.
b.
Hydrogen
peroxide (H202) 30% juga dapat untuk sterilisasi permukaan selama 5 menit dan
selanjutnya dibilas dengan air sampai bersih.
3.
Penanaman
( Inokulasi )
Teknik inokulasi merupakan faktor penting yang menentukan
keberhasilan perbanyakan mikoriza. Tiap jenis mikoriza mempunyai teknik
perbanyakan yang berbeda-beda. Berikut beberapa teknik inokulasi berbagai jenis
mikoriza menurut Santoso (2007 ) :
a. Ektomikoiza
Inokulasi cendawan ektomikoriza diprioritaskan pada jenis-jenis
meranti, pinus, eucalyptus, Gnetum gnemon, dan beberapa jenis dari
kelompok Fagaceae. Teknik inokulasi ektomikoriza pada dasarnya dapat
terjadi secara alam maupun secara buatan. Teknik inokulasi ektomikoriza secara
alam terjadi melalui proses sebagai berikut :
1.
Penularan
Secara Alam
a.
Menggunakan
inokulum tanah yang bermikoriza sebagai media tanam bibit dengan cara
memanfaatkan media tanah yang berasal dari bawah tegakan inang yang bermikoriza
sedalam 0-20 cm dari permukaan tanah sebagai media tanam, diharapkan secara
alamiah mikoriza yang terdapat pada media tanah akan mengkolonisasi perakaran
bibit yang ditanam pada media tersebut. Untuk lebih menjamin kehidupan bibit,
media tanah (topsoil) yang bermikoriza masih perlu ditambah dengan pupuk
dasar NPK dosis 0,5 g/kg tanah bisa dalam bentuk larutan (1 %) setiap satu
minggu.
b.
Penanaman
pohon induk bermikoriza (mother trees). Di bedeng persemaian ukuran 1 x
5 m, sebelum bibit ditanam terlebih dahulu ditanam pohon induk yang telah
terkolonisasi ektomikoriza. Kemudian baru dilakukan pena-naman bibit di bedeng
semai di antara pohon induk bermikoriza. Dengan cara menanam bibit berdekatan
dengan pohon induk yang bermikoriza diharapkan terjadi penularan secara alamiah
yang akhirnya diperoleh bibit tanaman bermikoriza dalam kurun waktu 10-12
bulan. Di Perum Perhutani cara ini dipakai di persemaian Pinus merkusii. Caranya
adalah dengan menyusui bibit Pinus yang masih kecil di bedeng-bedeng persemaian
dengan bibit Pinus merkusii yang telah bermikoriza berukuran 30- 40 cm.
2.
Penularan
Secara Buatan (Menggunaan Spora dan Miselia)
a.
Penggunaan
suspensi spora
Biasanya memanfaatkan ketersediaan cendawan yang memiliki kapasitas
produksi spora yang besar seperti Pisolithus, Scleroderma dan Rhizopogon. Dengan
cara suspensi yaitu jumlah 5 g spora dicampur per 10 liter air dan diaduk
sampai merata maka suspensi spora dapat digunakan untuk menginokulasi bibit
sebanyak 5.000 bibit. Untuk menghindari spora terbawa air dan menempel di akar
maka perlu ditambah dengan bahan perekat berupa larutan tween 20 yang
mirip seperti bahan deterjen 2-3 tetes.
b.
Penggunaan
spora ektomikoriza pada sistem irigasi
Kegiatan
ini telah dilakukan pada perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) Eucalyptus spp.
di Chili (Amerika Selatan) dengan persyaratan sebagai berikut: (i) Stok spora
ektomikoriza (seperti dari jenis Pisolithus sp., Scleroderma sp. dan
Rhizopogon sp.) tersedia berlimpah di alam dan mencukupi untukkegiatan
inokulasi; (ii) inokulasi dilakukan dengan menaburkan spora ektomikoriza pada
bak penampungan air sentral setelah benih disapih pada kontainer polytube.
Kemudian kegiatan ini dilakukan sekali lagi pada minggu ke-4 untuk menghasilkan
tingkat kolonisasi ektomikoriza yang lebih baik.
3.
Tablet
spora
Tahapan kerja dari teknik inokulasi dengan menggunakan tablet
spora, sebagai berikut :
a.
Tablet
dapat diinokulasi pada saat penyapihan (over spin) bibit Pinus yang masih
berkotiledon bentuk seperti pentol korek. Satu tablet diberikan untuk satu
bibit. Letak tablet sebaiknya dekat dengan sistem perakaran.
b.
Tablet
spora dapat diinokulasi dengan menggunakan molen dalam skala operasional. Media
tanam diusahakan dalam keadaan kering (tidak terlalu lembab). Molen diputar
bersamaan dengan masuknya media tanam, tablet spora, dan pupuk dasar dengan
dosis tertentu. Setelah dilakukan pemutaran selama 20-30 menit, media tanam
yang telah berisi tablet spora dan pupuk dasar dimasukan ke dalam kontainer
bibit.
4.
Kapsul
Spora
Selanjutnya pada kapsul spora, teknik penggunaannya sebagai berikut
:
a.
Penggunaan
kapsul spora sama dengan penggunaan tablet spora.
b.
Biaya
produksi kapsul spora lebih banyak digunakan pada penyediaan gelatin (selongsong
kapsul).
c.
Tingkat
efektivitas kapsul spora sama dengan tablet spora.
5.
Penularan
dengan menggunakan Miselia
Bahan
dan alat yang digunakan adalah miselia ektomikoriza, Sodium Alginate, Calcium
Chlorida, aquadest, blender; pipet.
Tahapan
kerja sebagai berikut:
a.
Miselia
ektomikoriza yang telah diperbanyak disaring dan dihancurkan dengan menggunakan
blender. Potongan-potongan miselia dicampur dengan aquadest. Inokulasi
dilakukan dengan menggunakan pipet ke masingmasing polybag yang telah
berisi satu benih berkecambah yang baru disapih.
b.
Biakan
murni miselia cair dapat dilakukan dengan cara suspensi atau dengan cara
miselia dikapsulkan terlebih dahulu ke dalam bahan gel (calcium alginate).
Pada kondisi ini butiran gel yang berisi miselia telah siap diinoku-lasikan.
Butiran gel akan hancur setelah disiram air dan kondisi yang lembab. Setelah
itu potongan miselia akan keluar dan berkembang dengan tujuan akhir mengontak
akar sehingga terjadi proses awal kolonisasi pembentukan ektomikoriza.
c.
Kemasan
dalam calcium alginate sangat cocok untuk daerah subtropis dengan sistem
bareroots. Sedangkan untuk daerah tropis dapat dilaksanakan dengan cara
sistem pencampuran media dengan alat molen.
b. Endomikoriza
Jenis-jenis tanaman yang berasosiasi dengan endomikoriza atau
dikenal dengan sebutan CMA (Cendawan Mikoriza Arbuskular) antara lain yaitu
jati, sungkai, mahoni, Eucalyptus spp., Acacia spp., Gmelina
arborea, Duabanga, Khaya spp., Agathis, sonokeling, saga, puspa,
waru, rasamala, saninten, mahoni dan lain-lain. Pusat Litbang Hutan dan
Konservasi Alam telah mempunyai sumber inokulan CMA yang dapat diaplikasikan
pada semua jenis tanaman tersebut di atas. Namun demikian untuk produksi skala
massal perlu dibuat semacam unit produksi mikoriza untuk mendukung program RHL.
Adapun teknik aplikasinya, sebagai berikut :
1.
Pembibitan
Vegetatif CMA diberikan pada saat pemindahan bibit dari tahap perakaran ke
tahap aklimatisasi (ke polybag atau polytube). CMA sebanyak 2-5 gr
dimasukkan ke dalam lubang penanaman bibit. Untuk produksi bibit dalam skala
besar aplikasi pemberian CMA ini dapat dicampur secara merata ke media bibit,
sehingga akan efisien waktu, biaya dan tenaga.
2.
Pembibitan
generatif
Pemberian CMA dapat diberikan dalam tiga cara tergantung kepada
besar kecilnya benih dan kuantitas produksi bibit :
1.
Sistem
lapisan
Cara ini sangat cocok untuk biji-biji ukuran kecil seperti Eucalyptus
spp. Dan Acacia spp. Pada bak perkecambahan, pada lapisan paling
bawah diisi dengan media perkecambahan setebal 10 cm, kemudian dilapisi dengan inokulan
CMA setebal 0,5-1,0 cm dan dilapisi lagi dengan media perkecambahan setebal 0,5
cm. Biji-biji yang akan dikecambahkan ditabur pada 80 lapisan atas secara
merata, kemudian ditutup dengan media perkecambahan setebal 0,5 cm.
2.
Sistem
campur (molen)
Cara ini sangat cocok untuk produksi bibit dalam skala besar
seperti hutan tanaman Acacia mangium atau Acacia crassicarpa yang
ada di Sumatera dan Kalimantan.
F.
Manfaat
Mikoriza dalam Ekologi
Menurut Musfal (2010 ) Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap
perkembangan CMA. Lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman biasanya
juga cocok untuk perkembangan spora CMA. Cendawan ini dapat hidup dalam tanah
yang berdrainase baik hingga yang tergenang seperti lahan sawah. CMA banyak
dijumpai pada tanah dengan kadar mineral tinggi, baik pada hutan primer, hutan
sekunder, kebun, padang alang-alang, pantai dengan salinitas tinggi, dan lahan
gambut (Soelaiman dan Hirata 1995) dalam Musfal (2010) Karena lingkungan hidup CMA
yang sangat luas, CMA sering dijadikan dasar dalam upaya bioremediasi lahan
kritis. Ekosistem alami CMA di daerah tropis dicirikan oleh keanekaragaman
spesies yang sangat tinggi, khususnya dari jenis ektomikoriza. CMA yang banyak
ditemukan berasal dari genus Acaulospora dan Glomus (Delvian et
al. 2001) dalam Musfal (2010) . Hutan alami dengan beragam umur tanaman dan
jenisnya sangat mendukung pertumbuhan CMA. Konservasi hutan untuk pertanian akan
mengurangi keragaman jenis dan jumlah CMA karena jenis tanaman, unsur hara yang
tersedia, dan kandungan bahan organik tanah telah berubah. Praktek pertanian
seperti pengolahan tanah, ameliorasi bahan organik, pemupukan, dan penggunaan
pestisida sangat berpengaruh terhadap keberadaan CMA (Zarate dan de la Cruz
1995) dalam Musfal (2010). Pengolahan tanah yang intensif akan merusak jaringan
hifa eksternal, sebaliknya pengolahan tanah minimal akan meningkatkan populasi
CMA. Sistem tumpang sari atau pergiliran tanaman juga dapat meningkatkan populasi
CMA (McGonigle dan Miller 1993) dalam Musfal (2010)
Manfaat CMA bagi ekosistem dilaporkan oleh Bolan (1991) dalam
Musfal (2010) CMA menghasilkan enzim fosfatase yang dapat melepaskan unsur P
yang terikat unsur Al dan Fe pada lahan masam dan Ca pada lahan berkapur
sehingga P akan tersedia bagi tanaman. CMA juga berperan dalam memperbaiki
sifat fisik tanah, yaitu membuat tanah menjadi gembur. Menurut Wright dan
Uphadhyaya (1998) dalam Musfal (2010), CMA melalui akar eksternalnya
menghasilkan senyawa glikoprotein glomalin dan asamasam organik yang akan
mengikat butirbutir tanah menjadi agregat mikro. Selanjutnya melalui proses
mekanis oleh hifa eksternal, agregat mikro akan membentuk agregat makro yang
mudah diserap tanaman.
bussseeeeetttt . . . . daaaahhhh . . . bneer bneeerrr thu MIKORIZA sangat bermanfaat bagi tanaman pertanian !!! siiiip dah ilmu nya sangat membatu saya sebagai petani yg ingin modern !!
BalasHapus